Gambar kreasi dari sumber yang jelas.
Tulisan ini merupakan tanggapan balik dari tulisan yang ditulis oleh Kompasianer Nararya berjudul Ekuivokasi di Sekitar Kisruh Ahok-DPRD yang merupakan tanggapan dari tulisan saya yang berjudul Sesat Pikir Ahok dan Peran DPRD DKI tentang Biaya Siluman
Kesesatan(Ekuivokasi )atau sesat pikir berupa kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berfikir karena penyalahgunaan bahasa dan atau relevansi atas premis yang dijadikan pijakan berfikir. Mengambil sebuah silogisme dengan mengkorelasikan premis mayor dengan premis minor yang relevan menjadi sebuah kesimpulan sangat tergantung pada saat memilih premis sebagi pijakan berfikir.
Pokok permasalahan :
Adanya satu asumsi yang berasal dari berbagai temuan auditor, bahwa telah terjadi adanya sebuah (pada umumnya) Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh orang-orang yang Korup, dalam satu system pemerintahan yang korup, yang diisi oleh wakil-wakil rakyat yang korup.
Untuk menyelesaikan “Kebobrokan” yang telah terjadi maka dicarikan jalan keluar melalui sebuah methode penalaran deduktif serta menentukan premis-premisnya.
Disepakati Premis mayor yang harus dipilih antara lain berupa :
·System Pemerintahan yang baik.
·System hukum yang baik.
·System pembiayaan yang baik
·System tata kelola yang baik
·System pengawasan yang baik
Bahwa asumsi yang kemudian muncul dari pola penalaran A Hok yang berlatar belakang auditor adalah menempatkan e-budgeting sebagai premis minor. Maka sebagai konsekuensinya system pembiayaan yang baik ditempatkan sebagai premis mayor yang dianggap bakal mampu menyelesaikan semua masalah yang ada di DKI. Itulah mengapa kemudian A Hok Menempatkan e-Budgeting sebagai sandaran paling utama penyelesaian masalah di DKI.
A Hok menganggap e-Budgeting dapat membawa penyelesaian masalah secara menyeluruh, mencegah adanya anggaran “siluman” dan sekaligus menghilangkan semua penyakit menahun pemerintahan. Karena masalah anggaran/pembiayaan adalah merupakan sumber dari semua permasalahan. Sementara sebenarnya e-budgeting hanyalah menduduki posisi menjadi sebagian dari masalah anggaran/pembiayaan.
Disinilah sesat pikir itu terjadi, meletakkan premis minor dengan satu asumsi dalam satu titik pandang yang berasal dari subyektifitas kompetensi yang dimilikinya sebagai seorang auditor. Kedudukan e-budgeting adalah sebagai salah satu alat yang terbaik untuk membenahi carut marut yang ada dalam pemerintahan, akan tetapi sebaik apapun e-budgeting hanya sebuah alat.
Ibarat senjata a-budgeting adalah senjata tercanggih didunia dalam sebuah pertempuran. Akan tetapi kecanggihan senjata sangat tergantung pada siapa yang menggunakan senjata The Man Behind the Gun. Menempatkan The Gun sebagai Premis minor sebagai pembanding PERANG sebagai Premis mayor dalam sebuah pola pikir adalah sebuah kesesatan. Karena dengan menempatkan premis minor yang salah akan ber akibat pada sebuah kesesatan (fallacy) saat menjadi subyek sebuah kesimpulan. Silogisme yang terbentuk dari dua premis (premis mayor dan premis minor) menjadi “senjata yang baik akan mampu memenangkan perang walaupun ditangan pemegang senjata yang kurang baik.”
Inilah pola pikir A Hok dan para pendukungnya, disinilah kesesatan pikir itu terbentuk.
Lalu premis minor apa yang harus diletakkan sebagai jembatan untuk membentuk satu silogisme yang rasional ?
Maka jawabnya adalah The Man bukan The Gun.Karena silogisme yang terbentuk kemudian adalah “Pemegang senjata yang baik, akan mampu memenangkan perang walaupun memegang senjata yang kurang baik”.
Dalam konteks carut marut DKI, maka sebagai premis mayor yang dipilih seharusnya adalah system Pemerintahan yang baik yang menempatkanharmonisasi/sinkronisasi Gubernur dan DPRD sebagai premis minor. bukan system pembiayaan yang baik yang bermuara pada e-budgeting sebagai premis minor.
Bagaimanakah Pemerintahan yang baik?
Dalam UU MD 3 yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalah Gubernur bersama dengan DPRD Prop.
Maka untuk membangan Jakarta yang baik untuk mendapatkan :
·System Pemerintahan yang baik.
·System hukum yang baik.
·System pembiayaan yang baik
·System tata kelola yang baik
·System pengawasan yang baik
Yang kemudian harus ditempatkan sebagai Premis minor bukan e-budgeting, akan tetapi harmonisasi/sinkronisasi antara Eksekutif dengan Legislatif berarti harus memilih system Pemerintahan yang baik sebagai premis mayor. Menyatunya keinginan A Hok sebagai Gubernur yang dipilih Rakyat dengan Anggota Dewan yang dipilih dan mewakili rakyat akan merupakan satu kekuatan yang akan mampu membenahi semua kebobrokan Birokrasi bersama anggota Dewan yang ambil kesempatan untuk ber korupsi ria bersama.
Kemauan baik dari A Hok sebagai seorang Gubernur harus disalurkan melalui saluran yang tepat dan sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Adanya kemauan dan keinginan yang sama dari A Hok sebagai Gubernur dengan DPRD DKI untuk membangun Jakarta menjadi lebih baik, menjadi prioritas utama dan pertama, baru dari sana dibicarakan methoda dan langkah-langkahnya dimana salah satunya adalah disetujuinya dilaksanakannya e-Budgeting oleh Pemrintah DKI.
Sesat Pikir A Hok yang disebabkan oleh kesalahan menentukan premis mayor dan premis minor, berakibat terjadinya berbagai kesimpulan sesat antara lain :
·DPRD hanya diisi oleh para garong dan maling anggaran sehingga tidak mungkin bisa diajak membenahi Jakarta.
·DPRD sengaja menyiapkan Anggaran pembiayaan siluman yang selalu dipersiapkan untuk digarong bersama.
·Bila e-budgheting dilaksanakan maka para garong anggaran yang ada di DPRD akan bisa digeret semua ke hotel prodeo.
·Maka e-budgeting harus tetap dilaksanakan tanpa persetujuan DPRD.
·Dan berbagai just men sesat lain yang semua bersifat MENGHAKIMI yang hanya dipandang dari satu subyektifitas sudut pandang.
Kesimpulan sesat hasil dari sesat pikir diatas yang telah meracuni pola pikir A Hok dan para pendukung dan pemujanya dengan menolak semua bentuk komunikasi dua arah.
Khusus mengenai pola definisi claim maker yang diangkat saudara Nararya dalam tulisannya Ekuivokasi di Sekitar Kisruh Ahok-DPRD justru adalah merupakan titik lemah pola Komunikasi Politik A Hok, bersama para pemujanya yang selalu menempatkan subyektifitas sudut pandangnya sebagai claim maker dengan menggunakann one way traffic communication menempatkan lawan diskusinya sebagai pendengar yang akan berakhir pada sesat pikir dari sebuah miss communication.
(Dalam komunikasi dua arah tidak akan pernah terjadi miss komunikasi akibat dari diskusi bisu tuli. yang berakibat pada sesat pikir.)
Yang diangkat oleh Saudara Nararya adalah bagian dari kelemahan komunikasi diantara teknik komunikasi yang lebih baik. Two way traffic communication tidak menempatkan claim maker sebagai pokok minat diskusi tapi meletakkan permasalahan sebagai pokok minat diskusi yang dibahas bersama melalui satu diskusi yang sehat dimana masing-masing peserta diskusi secara setara menyampaikan gagasannya untuk mencari sebuah titik temu.
Salam prihatin untuk sesat pikir.