Sudah menjadi kebiasaan dari tahun ke tahun, setiap bulan Ramadhan diisi dengan berbagai kegiatan. Diantaranya berbuka puasa bersama di masjid, sembayang atau melaksanakan shalat isa, dan tarawih secara berjama'ah. Kegiatan itu makin intensif dilakukan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, biasanya diisi dengan pembacaan kitab Al Qur'an dalam bahasa Arabnya, dengan harapan mendapat malam Laillatul Qadar. Jadi dapat dibayangkan, betapa ramainya suasana selama bulan Ramadhan di malam hari, dan menjelang subuh di lingkungan penulis.
Sebagai umat Islam penulis pun melakukan aktifitas yang sama, sebagaimana muslim yang lain. Bedanya penulis lebih sering, dan bukan hanya selama bulan Ramadhan saja mengaji Al Qur'an dalam bahasa yang penulis pahami yaitu bahasa Indonesia. Sebagaimana perintah, dan petunjuk Allah dalam surat - surat sebagai berikut: Surat Yusuf ayat 2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Surat Az Zukhruf ayat 3. Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).
Dengan mengajinya menggunakan bahasa yang penulis pahami, sudah barang tentu akan memudahkan penulis dalam memahami, dan mencerna apa yang diperintahkan atau ditunjukkan Allah kepada hamba-Nya. Itupun penulis lakukan secara berulang -- ulang membacanya dengan segenap pikiran terfokus, dan melalui rasa yang merasakan atau roso pangroso (Jawa).
Harus dilakukan secara berulang karena setiap perintah, dan petunjuk Allah saling berkaitan, dan saling menjelaskan antar satu ayat dalam surat tertentu, dengan satu ayat dalam surat yang sama, atau dalam surat yang lainnya. Sehingga pembacaan yang berulang -- ulang menjadi wajib dilakukan, agar dapat menangkap makna batiniah yang disampaikan Allah. Kegiatan mengaji makna batiniah Al Qur'an pun mestinya tidak dibatasi oleh waktu atau dalam bulan Ramadhan saja, tetapi wajib dilakukan setiap saat hingga akhir hayat.
Setiap makna batiniah dari ayat yang telah berhasil penulis kaji, selanjutnya penulis posisikan atau tempatkan di dalam hati. Kemudian penulis usahakan pengamalannya agar dapat tercermin dalam setiap tingkah laku, perbuatan, dan tutur kata penulis sehari - hari. Dengan cara itulah penulis selalu bermohon kehadirat Allah, kiranya diperkenankan agar sepanjang hidup penulis selalu berada dalam tuntunan Nur Illahi, dan lindungan-Nya. Karena kemanapun pergi, dan beraktivitas penulis selalu membawa Al Qur'an dalam hati.
Suatu malam di bulan Ramadhan 1425H ( 2004 M ) bertepatan pada malam ke 27 penulis bermimpi. Dalam mimpi itu tergambar peristiwa terang benderang di malam hari, namun tak tampak adanya bulan. Banyak orang berkerumun, bersorak gembira menyaksikan peristiwa menakjubkan itu, sambil berteriak "malam laillatul qadar, malam laillatul qadar, malam laillatul qadar". Penulis berbaur dalam kerumunan orang itu, berdiri disamping seorang wanita berpakaian sederhana. Wanita itu memakai baju kebaya. dan kain ( Jawa = jarik ) yang sudah lusuh hanya sebatas dibawah lutut, sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sayang mimpi hanyalah sebatas itu saja selanjutnya penulis terbangun, dan sahur bersama keluarga.
Mimpi itu sungguh membekas dalam benak penulis, begitu terpukaunya penulis hingga penulis ceritakan mimpi itu kepada istri sambil bersantap sahur. Meskipun singkat, samar -- samar dapat penulis tangkap makna batiniah petunjuk dalam mimpi itu. Sosok wanita sederhana tadi, penulis maknai sebagai orang desa yang umumnya berprofesi sebagai petani. Jadi menurut analisis penulis, sosok petani hakekatnya adalah gambaran dari orang yang sabar, dan ikhlas dalam melakoni perjalanan hidup, dan kehidupan di atas dunia ini.
Mereka mengolah tanah agar siap ditanami, menabur benih, merawat, memelihara, memupuk, hingga akhirnya tiba waktu mereka dapat memanen hasilnya. Mereka terbiasa berproses, menunggunya dengan sabar sejak bibit ditanam hingga dapat menghasilkan, dan dipanen. Artinya petani tidak pernah berpikiran instan, karena mereka tahu yang namanya berproses itu butuh waktu, dan itu dilakukannya dengan sabar.
Mereka juga terlatih sabar, dan ikhlas dalam menghadapi semua keadaan. Saat harga beras membumbung tinggi misalnya, alih -- alih melakukan demo seperti umumnya masyarakat kota yang mengaku terpelajar itu, mereka justru menyiasatinya dengan mengonsumsi jagung, atau ubi kayu sebagai pengganti makanan pokok. Sungguh ikhlas, dan sabar bukan?
Kendati umumnya pendapatan mereka pas -- pasan, toh mereka tak pernah lupa berbagi dengan sesama saudaranya. Contoh kecil pernah penulis alami sendiri, saat berkunjung ke rumah saudara yang berprofesi petani. Meskipun tampak susah toh mereka meluangkan kacang ijo, dan beras ketan hasil panenan mereka sekedar untuk memberikan oleh-oleh atas kedatangan penulis. Tak tampak adanya keberatan di mata mereka saat memberikannya, yang tampak justru rasa bahagia dan bangga. Ya itulah wujud cinta yang mereka kenal, bahasa sederhana yang mereka coba ungkapkan dalam keterbatasan materi yang mereka miliki.
Contoh lain pasti anda semua bisa mengungkapkannya sendiri, sesuai dengan pengalaman masing -- masing. Yang jelas semua itu menunjukkan betapa ikhlasnya saudara -- saudara petani kita yang tinggal di desa dalam menjalani hidup, dan kehidupannya. Dari situ maka penulis menyimpulkan, mimpi singkat penulis itu sebagai petunjuk "bahwa hanya orang yang berlaku sabar, dan ikhlas lah yang akan mendapatkan malam Laillatul Qadar"