Lihat ke Halaman Asli

Hendry CH Bangun

TERVERIFIKASI

Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022

Bertemu Tan Joe Hok

Diperbarui: 25 November 2019   12:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Ketika Ivana Lie mengajak saya untuk jalan-jalan ke Kudus untuk menengok markas Persatuan Bulutangkis Djarum, seketika saya mengiyakan. Saya rindu dengan suasana bulutangkis, olahraga yang sempat saya tekuni  sekitar 10 tahun ketika bekerja sebagai reporter di Kompas. Apalagi sebelum itu Budi Darmawan, public relation Djarum,  sekitar tiga bulan lalu sudah menyampaikan hal serupa. Saya pun pernah diwawancarai ketika ada perayaan PB Djarum ke-50 karena dianggap agak tahu soal kiprah pemain-pemain salah satu klub yang paling sukses dalam melahirkan para juara.

Kami berlima, Ivana, Budi, juga rekan seangkatan di liputan olahraga Atal S Depari dan Tubagus Adhi, berangkat bersama melalui Semarang. Di airport kami bertemu Liem Swie King, salah satu pemain terbaik Indonesia yang masih dikenal dengan King Smash-nya, sebuah pukulan menghujam sambil melompat yang jarang bisa dikembalikan lawan. 

Saya meliput King ketika dia sudah main ganda, baik ketika berpasangan dengan Bobby Ertanto, Kartono, maupun Eddy Hartono.  King tiga kali juara All England,  tapi dia gagal menjadi juara dunia karena dikalahkan Icuk Sugiarto tahun 1983. Kekalahannya yang paling diingat orang Indonesia tentu ketika di semifinal Piala Thomas 1988, berpasangan dengan Bobby Ertanto, King kalah dari Razif/Jalani Sidek, sehingga Indonesia kalah 2-3 dari Malaysia dan untuk pertama kalinya gagal ke final.

Di bandara Ahmad Yani Semarang kami berpisah dengan King karena dia dijemput secara khusus, begitu pula wartawan Republika Nurul yang sedikit lebih yunior semasa saya masih bertugas di lapangan.

Suasana GOR Jati yang menjadi markas PB Djarum sudah seperti malam ketika kami tiba. Walaupun panas terik mencapai 37 Celsius, ratusan anak dan orangtua mereka antusias berada di sekitar lokasi, entah itu di ruang istirahat, di depan panggung terbuka, stand suvenir, ataupun di lorong menuju GOR yang sedang berlangsung pertandingan. Sekitar 800 orang anak berebut tiket untuk masuk ke putaran final yang jatahnya sekitar 30 saja, yang akan bersaing lagi dengan wakil dari 4 kota lain untuk mendapat beasiswa PB Djarum.

Di 10 lapangan, mereka bermain dengan sungguh-sungguh. Baik itu bocah yang ibaratnya baru bisa mengayunkan raket, sampai yang pukulannya sudah mantap, di hadapan  belasan legenda bulutangkis PB Djarum yang menjadi semacam juri. Mulai dari Christian Hadinata, Hastomo Arbi, Kartono, Rudy Heryanto, Eddy Kurniawan, Richard Mainaky, lalu Eddy Hartono, Lius Pongoh, Heryanto Arbi, Antonius, sampai Yuni Kartika. Mereka mencatat performa calon yang bermain, sekaligus memberi penilaian. Bukan skor pertandingan.

Ketika kemudian kami bergerak ke ruang makan di asrama pemain, saya pun bertemu Tan Joe Hok, sang legenda itu. Wajahnya masih segar, sapaannya masih ramah, dan semangatnya masih menggelegar. Joe Hok, begitu dia sering dipanggil sebayanya dulu, menjadi pelatih di Djarum sejak tahun 1982, paling senior dibandingkan yang ada.

Joe Hok satu-satunya anggota Tim Indonesia yang berhasil merebut Piala Thomas di Singapura tahun 1958 dengan mengalahkan Malaysia 6-3, yang masih hidup  Rekannya sudah berpulang, bahkan ada yang belasan tahun lalu. Tidak ada lagi Njoo Kim Bie,  arek Surabaya tinggi besar yang hebat smesnya saat berpasangan dengan Tan King Gwan untuk merebut dua angka dari Malaysia. 

Sudah berpulang juga Ferry Sonneville, tunggal pertama Indonesia yang menyumbangkan dua angka. Begitupun Eddy Yusuf,  yang menang dari Abdullah Piruz di partai kelima untuk menjadikan skor Indonesia-Malaysia 4-1. Atau Olich Solhin, kawan karib Joe Hok di Bandung, yang berperaan besar saat Indonesia menggulung Selandia Baru dan Australia 9-0 di babak penyisihan wilayah Australasia untuk merebut tiket ke putaran final di Malaysia. Begitupun Li Po Djian dan Tan Thiam Beng, yang masuk tim Piala Thomas Indonesia.

Joe Hok juga orang pertama Indonesia yang menjadi juara di All England, dengan mengalahkan seniornya Ferry Sonneville tahun 1959.  Dia memang terkenal sebagai pemain muda yang kerap mengalahkan pemain yang lebih berpengalaman. Dia mampu mengalahkan Njoo Kim Bie di Kejuaraan Nasional 1954. Itu pula yang dilakukannya ketika menyumbang dua angka bagi Indonesia di Piala Thomas, dengan menaklukkan  juara All England tiga kali Eddy Choong, untuk memasikan kemenangan Indonesia 5-1 dari 9 partai pertandingan. Padahal Malaysia menghitung pertandingan hari kedua itu milik mereka.

Siang itu suara Joe Hok masih keras dan tegas, ciri yang tidak pernah hilang dari dirinya. Saya menilai dia orang yang jujur, lurus, dan berbicara apa adanya walau itu berbeda dengan pandangan umum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline