Lihat ke Halaman Asli

Hendry CH Bangun

TERVERIFIKASI

Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022

Dunia yang Semakin "Berisik"

Diperbarui: 5 Maret 2016   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya kira yang dipusingkan orang saat ini bukan kurangnya informasi, tetapi sebaliknya semakin banjirnya informasi yang dia terima. Sehingga keterampilan yang kita butuhkan adalah menyaring mana informasi yang bermanfaat dan mana yang mudarat, bahkan merusak dan menyesatkan. Seperti yang ditulis dalam buku Blur yang ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel beberapa tahun lalu, tapi yang agak mencemaskan karena informasi itu tidak lagi hanya datang dari sumber online, media siber atau blog-blog, tetapi sebagian besar dari sumber pribadi.

Kalau anda punya ponsel cerdas (smart phone), maka dipastikan Anda akan secara rutin, mau tidak mau, akan menerima informasi. Pertama berbagai tawaran dari operator telpon. Apakah diskon pulsa, tawaran lagu-lagu, memperbesar bandwidth, undian berhadiah, nonton konser musik, dsb. Lalu secara berkala juga Anda menerima tawaran dari berbagai restoran cepat saji, kedai kopi, toko penjual roti, ketika lewat dekat-dekat toko mereka. Tahu-tahu sms muncul begitu saja di ponsel Anda, meskipun sedang naik kereta berjarak 100-an meter dari pertokoan itu. 

Ketiga kalau Anda tergabung dalam beberapa grup. Entah itu grup BBM atau WhatsApp. Setiap menit rasa-rasanya Anda ponsel Anda berbunyi tentang berbagai informasi, mulai dari yang penting, agak penting, kurang penting, dan tidak penting sama sekali. Tidak lihat waktu, mulai dari subuh sampai tengah malam. Ada nasehat, petuah, tips, pengetahuan yang kita sudah tahu sebelumnya, atau kadang lelucon yang tidak lagi lucu. Dunia seperti makin berisik. Kita tidak lagi bisa merasakan dunia yang senyap, dunia yang diam, mungkin untuk sekadar satu jam. 

Sebagai orang media, yang lebih mencemaskan saya adalah kualitas informasi yang disampaikan. Karena tidak terikat standar jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik, “berita” disampaikan tanpa memikirkan dampaknya. Yang penting asal lempar, tanpa merasa perlu mengkonfirmasi. Padahal di zaman sekarang yang namanya berita palsu, hoax, banyak sekali beredar, yang dikemas dengan canggih dan seolah-olah benar. Bagi orang yang berakal sehat, dewasa, dan tidak mudah percaya, mungkin dia akan melakukan cek ulang, recheck, informasi yang dia rasa agak ganjil. 

Tetapi banyak sekali yang tidak paham soal proses pembentukan informasi, dia langsung percaya, meneruskannya, dan menimbulkan keresahan bahkan mungkin sampai pada kekerasan. Misalnya soal beredarnya informasi tentang pelarangan pembangunan masjid di Wamena, yang ternyata bermula dari sms berantai bahwa masjid itu akan punya menara 70 meter dan berlantai empat tapi ternyata menaranya hanya 20 meter dan dua lantai dalam rancangan. 

Beruntung Polda Papua mempertemukan pihak gereja dan pengelola masjid sehingga salah faham bisa diatasi, keresahan yang sempat muncul di kedua pihak bisa dipadamkan. Ada lagi soal ulama Arab Saudi Sheikh Aidh al-Qarni yang ditembak dan dilaporkan meninggal di kota Zamboanga, Filipina Selatan, yang ternyata hanya terluka. Kalau tidak ada anggota grup yang berinsiatif “meralat” informasi yang sudah terlanjur beredar, maka bencana bisa saja terjadi tanpa tercegah.

Dunia yang berisik tentu saja buah dari semakin berkembangnya teknologi, semakin murahnya alat komunikasi, dan semakin bebasnya orang mengekspresikan cita-cita, kehendak, perasaan, maupun aspirasi politiknya. Di Indonesia meskipun ada Undang-Undang Informasi dan Transksasi Elektronik, sejauh informasi yang kita sampaikan tidak menyinggung, merendahkan, menghina, orang ataupun kelompok tertentu, orang tak merasa perlu khawatir. Kebebasan berpendapat yang dijamin dalam dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, merupakan basis yang memberi kepercayaan diri bagi rakyat Indonesia untuk berani bersuara di media sosial. Apalagi kebebasan ini pun belum berumur lama, terhitung sejak tumbangnya Soeharto tahun 1998.

Kita menjadi semakin terjajah informasi yang membeludak itu karena kita semakin tidak bisa lepas dari ponsel. Gatal rasanya tangan kalau tidak menyentuh gawai itu barang setengah jam. Aneh kalau tidak “membuka”nya selama 15 menit walaupun tidak ada getaran atau kedipan di gawai yang kita pegang. 

Sebagaimana ditulis Time akhir Februari lalu, gejala kecanduan ponsel pada saat ini meracuni sebagian besar penduduk dunia. Dikutip pendapat Dr James Robert Taylor, pengajar di Universitas Baylor dan penulis “Too Much of a Good Thing”, yang mengatakan bahwa bila Anda merasa cemas, mudah marah, dan tidak nyaman bila ponsel tidak dalam jangkauan, itu sudah pertanda Anda kecanduan. Tidak beda dengan orang yang kecanduan alkohol atau narkoba, dalam arti tidak bisa lepas dari gawai.

Dr David Greenfield, asisten profesor psikiatri klinis di Universitas Conneciticut dan pendiri Pusat Kecanduan Internet dan Teknologi menyebut, “Banyak yang menggunakan ponsel secara berlebihan.” Dan mereka itu umumnya menuju orang yang kecanduan ponsel, karena dia tidak berdaya untuk mencegah diri untuk tidak mengggunakan ponsel meskipun tahu itu tidak pantas. Misalnya saja saat makan malam dengan keluarga, saat menonton televisi, bahkan saat menyetir mobil.

Gabungan kecanduan dan kebanjiran itu membuat dunia semakin berisik. Bisa dibilang, dunia tidak akan pernah sedamai dulu lagi. Tidak jauh-jauh, mungkin tidak seperti 5 atau 10 tahun lalu, ketika ponsel masih terasa mahal dan aplikasi teknologi informasi semaju sekarang...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline