Lihat ke Halaman Asli

Guru Itu Bapakku

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Wajahnya sekarang sudah menua. Ada beberapa helai uban yang menyembul di balik rambutnya yang hitam. Di antara kecamata usang itu terlihat guratan keriput di garis mata dan kening. Kulitnya sedikit lebih hitam dari yang kutahu sebelumnya. Namun hanya satu yang tak pernah berubah darinya, tatapan mata. Iya, tatapan mata yang ku tahu dari dulu tetap sama. Tatapan yang memancarkan harapan. Tatapan yang sangat kurindukan saat pulang. Bapakku.

Biasanya ketika di rumah, aku, bapak, dan ibu selalu bercengkrama di beranda rumah yang sederhana. Beranda yang cukup untuk kami duduk bersila. Bapak dengan rokok Suryanya dan ibu yang masih setia dengan Sirihnya. Banyak hal yang kami bicarakan, tentang aku, masa lalu, dan harapan keduanya nanti.

Tradisi berkumpul ini sudah biasa kami lakukan sejak lama. Saat itu adik-adikku masih berkumpul bersama. Aku punya tiga adik, dua laki-laki dan satu perempuan. Dua adikku laki-laki, seorang sedang kuliah di Filipina dan seorang lagi di Malang. Sedangkan yang perempuan ini masih kelas tiga SMA. Tradisi yang selalu kami rindukan.

Di antara bayaknya cerita dan kenangan, satu hal yang selalu aku ingat dan selalu ingin aku ceritakan tentang Bapakku. Dia adalah orang yang sangat sederhana, jujur, dan adil. Terutama kepada kami anak-anaknya.

Bapak selalu bercerita tentang pahit manis hidupnya di kampung dan di perantauan. Tentang cita-citanya ingin menjadi pendidik (guru). Cerita yang sangat memotivasi kami sebagai anak-anaknya.

Bapak dilahirkan dari keluarga petani miskin. Cacian dan hinaan orang sudah menjadi bagian dari hidup bapak waktu kecil. Ketika Bapak mengungkapkan ingin bersekolah, orang-orang dan keluarga mencaci dan mengatakan bahwa Bapak adalah orang miskin yang tidak pantas bersekolah, yang bisa bersekolah itu hanya orang kaya saja. Namun ternyata cacian dan makian itu yang menjadi pelecut semangat bagi Bapak.

Sejak saat itu Bapak memutuskan untuk merantau. Modalnya hanya nekat dan impian ingin menjadi orang sukses kelak untuk mampu merubah hidupnya dan pandangan orang-orang kepadanya. Selama itu, banyak sekali problematika yang dialami bapak. Mulai dari terbakarnya rumah kakek. Mata nenek yang buta kerena kecelakaan kerja. Harus bekerja sambilan, menjadi guru honorer, mengajar les, hingga menjadi kuli bangunan. Singkat cerita, bapak berhasil mendapatkan gelar sarjana.

Waktu selesai kuliah, bapak pernah ditawarkan menjadi asisten dosen. Pada saat itu tawaran menjadi asisten dosen merupakan hal prestisius bagi mahasiswa karena sangat jarang hal itu terjadi. Namun bapak dengan tegas menolak. Katanya dia memutuskan untuk menjadi guru. Aku ingat waktu itu ibuku pernah mengatakan “Bapakmu itu aneh! Masa tawaran menjadi dosen ditolaknya!”. Tapi bapak menjawab tenang, katanya,”Bapak bukan tidak mau menjadi dosen, tapi panggilan hati bapak ingin menjadi guru, mengajar siswa-siswa ini agar menjadi orang yang hebat!”, kemudian lanjutnya suatu kali, “manjadi guru ataupun dosen itu sama saja, sama-sama mengabdi, sama-sama mendidik. Tidak ada yang lebih hebat di antara keduanya.”

Semangat menjadi guru ini tertanam dan diterapkan dengan baik oleh Bapak. Ketika mendapat SK PNS, dia ditugaskan jauh dari kampung halaman. Tempat yang tidak dikenalinya sama sekali. Tempat yang asing dan jauh dari keluarga. Bapak bilang “Pertualangan yang baru dimulai.”

Ketika itu aku baru berumur 2,5 tahun. Kata bapak, sekolah tempat Bapak ditugaskan pertama kali itu masih hutan. Kebetulan sekolah itu baru saja dibangun. Pertama kali sampai di lokasi sekolah itu Bapak harus membuka jalan baru. Menebang pohon-pohon dan ilalang serta tanaman liar. Bapak pernah bercerita katanya waktu aku melihat hutan seperti itu, aku minta untuk pulang lagi ke Pontianak. Itu adalah cerita lucu.

Karena hidup pas-pasan, dulu aku dan adik-adikku tidak memiliki mainan-mainan yang modern. Tapi kami tidak pernah habis akal. Bapak mengizinkan kami untuk bermain di hutan. Memanjat pohon, berenang, mencari ikan dan lain sebagainya. Sehingga kami tumbuh menjadi anak yang kreatif. Keyataannya lingkungan sekolah yang dikelilingi hutan itu menjadi tempat masa kecilku tumbuh. Dan aku sampai saat ini merindukan suasana di sekolah itu.

Cerita Bapak menjadi guru itu beragam. Bapak bilang gaji pertamanya dengan golongan 3A waktu itu adalah Rp. 39.000,- Memang saat itu nominal segitu cukup untuk keperluan sebulan, tapi tetap saja kurang. Untungnya ada subsidi beras 100 kg dari pemerintah sehingga dapat menutupi kekurangan. Kemudian pengalaman pernah diserang warga kampung karena tidak menerima anaknya yang tidak lulus SMA. Waktu itu Bapaklah garda depan dari pihak sekolah yang menghadapi orang-orang kampung untuk menjelaskan penyebab ketidaklulusan anak-anak mereka. Mulai saat itu, jika terjadi masalah antara sekolah dan orang tua, maka Bapak adalah orang pertama yang dicari untuk diminta pendapat. Bahkan ketika bapak sudah tidak bertugas di SMA itu lagi, orang-orang tua murid masih mencari dan menunggu Bapak.

Kurang lebih sebelas tahun Bapak mengabdi di tempat tugas pertama. Kemudian dia dipromosikan untuk menjadi kepala sekolah. Waktu itu dia diberi pilihan. Pertama menjadi kepala sekolah di Balai Karangan, kedua di Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang. Atas saran pejabat diknas Sintang, yang kebetulan keluarga, bapak akhirnya memutuskan untuk bertugas sebagai kepala sekolah di Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang. Menurut informasi saat itu sekolah negeri yang ada di Kecamatan Serawai adalah sekolah yang baru dibangun. Selain karena di kampung sendiri, Bapak waktu itu merasa bertanggungjawab dan terpanggil untuk memajukan daerahnya.

Pertengahan 2002 SK kepala sekolah Bapak keluar dan kami langsung pindah ke Serawai. Ketika bertugas di Kecamatan Serawai ini ternyata mempunyai problematika tersendiri. Siswa-siswa dan guru-guru di sekolah tersebut terbiasa dengan pola yang diterapkan oleh kepala sekolah yang lama. Oleh masyarakat setempat sekolah ini dikenal dengan sekolah 79 (masuk jam 7, pulang jam 9). Sementara itu, guru-guru sudah biasa bersantai dan tidak terpola. Tantangan Bapak waktu itu adalah mengubah perilaku dan disiplin siswa dan guru di SMA tersebut. Memang tidak mudah.

Seiring perjalanan waktu, SMA yang dikepalai bapak sudah banyak perubahan. Dari sekolah yang dulunya 79, kini 7-13. Dari guru yang hobi absen kini sudah tepat waktu. Dari yang yang tidak lulus hampir semua siswa, kini hanya satu siswa yang tidak lulus.

Bapak sudah biasa berangkat dari keterbatasan. Hampir tidak pernah dia mengeluh terhadap situasi yang dialaminya. Dia tidak pernah mengeluh karena dicaci oleh guru-guru yang tidak senang dengan kebijakannya. Dia tidak pernah mengeluh dengan sarana dan prasarana yang didapatkannya. Dia tidak pernah mengeluh ketika harus melewati rute tanah dan berlumpur dari jalur Serawai-Sintang. Hampir jarang kudengan Bapak mengeluh. Satu saja keluhannya yaitu badannya sudah tidak kuat lagi.

Sekarang bapak memutuskan untuk pensiun. Dia menyerahkan tongkat estafet ini kepada pemuda-pemudi penerusnya. Besar harapannya guru-guru lebih diperhatikan. Dia tidak pernah meminta untuk digaji tinggi. Dia hanya ingin pemerintah peduli terhadap pendidikan.

Dan karena Bapak juga akhirnya aku memutuskan untuk menjadi seorang pendidik.

Selamat Hari Guru: Buat Semua Guru di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline