Pesta demokrasi sebentar lagi akan berlangsung di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari desa hingga perkotaan sibuk memilih pemimpin yang diharapkan dapat membantu membawa bangsa Indonesia ini selangkah lebih baik lagi. Berbagai calon saat ini pun mulai menyiapkan strategi untuk mengambil simpati masyarakat agar mendapatkan suara terbanyak dan terpilih menjadi angota dewan, yang mewakili rakyat baik di daerah maupun di pusat.
Namun yang menjadi masalah adalah banyak sekali calon angota dewan yang menggunakan cara kotor untuk mengambil simpatisan warga.
Seperti halnya salah satu anggota DPD RI yang kembali mendaftarkan dirinya kembali untuk langkah selanjutnya. Berdasarkan informasi yang berhasil kami himpun di berbagai media masa, serta hasil investigasi teman-teman wartawan yang ada di Lampung, calon anggota dewan yang berinisial AS ini adalah pengurus salah satu perguruan tinggi swasta yang ada di Lampung.
Karena ambisinya ingin kembali memenangkan pemilihan anggota dewan di tahun 2019 kelak AS kembali menggunakan strategi dengan mengumpulkan beberapa media masa yang mana melakukan pencitraan akan kampusnya tersebut, namun karena informasi tentang prestasi kampusnya itu tidak bisa mendapat respon baik dalam menarik simpati massa, AS kembali menggunakan strategi memanfaatkan Tanah Pemerintah yang pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan negara seperti Pelindo dan juga KAI.
Strategi yang selalu AS gunakan untuk mendapatkan simpatisan warga di sepanjang rel kereta api di Lampung tersebut adalah menggunakan dalih-dalih yang kebenarannya belum pernah sama sekali dibuktikan, salah satunya adalah pernyataan Andi Surya yang menyatakan bahwa PT. KAI tidak memiliki Grondkaart asli, padahal pernyataan Andi Surya yang mena memiliki latar belakang dunia akademik yang kuat harus bisa membuktikan sedangkan dari beberapa informasi yang berhasil kami himpun dari media maupun penggadilan PT. KAI memiliki Grondkaart yang asli dan sah.
Karena takut kehilangan kepercayaan dari masyarakat Lampung dengan argumen-argumennya yang tidak masuk akak, AS kembali ngotot meyakinkan masyarakat dengan membenturkan isu bahwa Grondkaart tidak sah menurut UUPA 1960 karena tidak dikonversi dari hak barat ke hal nasional. Jika kita memahami sejarah hukum yang ada di Indonesia ini apa lagi pasca Indonesia merdeka pasti tertawa akan dasar keilmuan yang digunakan Andi Surya tersebut. Opini yang terbilang ngawur dan terlihat kebodohanya tersebut terlihat karena Grondkaart dan hak-hak barat seperti eigendom, opstal, erfpacht itu sungguh sangat berbeda.
Hak-hak barat seperti eigendom, opstal, erfpacht itu merupakan tanah-tanah individu atau lembaga swasta sedangkan grondkaart itu sendiri adalah produk yang dikeluarkan untuk tanah Negara yang mana semua pembebasan lahan sudah jelas dan semua telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang pada saat itu.
Setelah Indonesia merdeka semua lahan yang memiliki grondkaart tersebut dilakukan nasionalisasi dan statusnya berubah menjadi tanah Negara, lalu Andi Surya mengangap Grondkaart tidak sah menurut UUPA 1960 karena tidak dikonversi dari hak barat ke hal nasional, lalu tanah yang statusnya sudah berubah menjadi tanah milik pemerintah Indonesia tersebut mau di konfersi kemana lagi? Ketidakpahaman AS semakin parah ketika ia menduga bahwa tanah negara itu bisa menjadi milik masyarakat. Pemikiran seperti ini mirip seperti pola pikir komunis di Indonesia pada akhir masa tahun 1950-an yang berdalil bahwa PKI pada masa itu menuntut landreform dari tanah negara menjadi tanah rakyat untuk dibagi-bagikan kepada buruh dan tani.
Selain itu pernyataan-pernyataan yang sering dilontarkan di media massa oleh AS tersebut banyak sekali membuat perut ini sakit karena tidak kuat menahan tertawa akibat pendapat-pendapat konyolnya yang mana menghubungkan UU Perkeretaapian dengan tanah milik PT. KAI, yang undang-undang membahas tentang infrastruktur dan keselamatan perjalanan kereta api.
Dalam FGD yang dilakukan di Lampung beberapa bulan yang lalu M. Noor Marzuki Eks Sekjen Badan Pertanahan Nasional tersebut juga menyatakan bahwa lahan yang ada grondkaart itu sampai kapan pun tidak dapat dipindahtangankan. Dan menurut surat Kementerian Keuangan kepada BPN No. S-11/MK.16/1994 tanggal 24 Januari 1995 menyebutkan bahwa Grondkaart merupakan alas bukti kepemilikan aset Perumka dan pelepasan lahannya hanya bisa dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
Dari aturan yang sudah ada sudah final, sehingga masyarakat harus lebih pintar jangan sampai memilih anggota dewan yang PHP (Pemberi Harapan Palsu) yang akan membuat masyarakat rugi karena memilihnya. Masyarakat Lampung Bersatu Untuk Kemajuan Provisi Ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H