Lihat ke Halaman Asli

Budi Satria Dewantoro

Praktisi Hukum

Menata Demokrasi Tanpa Meredupkan Peran Polri di Bawah sang Nahkoda

Diperbarui: 2 Desember 2024   08:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinergi untuk Demokrasi: Anggota Polri bersama warga, petugas KPU, dan Bawaslu daerah bahu-membahu mengangkut logistik Pilkada 2024. (Foto: kompas)

Di tengah arus deras dinamika politik Indonesia, gagasan Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, untuk menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri atau kembali di bawah kendali Panglima TNI menjadi sorotan. 

Usulan ini, meskipun dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap netralitas Polri dalam ajang Pemilu, menuai polemik yang mendalam. Seperti halnya angin kencang yang menghempas layar, gagasan tersebut menyentuh esensi tata kelola demokrasi dan menuntut perenungan filosofis.

Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, menegaskan bahwa usulan ini bertentangan dengan amanah reformasi. Pemisahan TNI dan Polri melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000 adalah pilar reformasi yang dibangun untuk memastikan independensi dua institusi ini. 

Polri, sebagai institusi yang berada langsung di bawah Presiden, memikul tanggung jawab besar menjaga keamanan dan ketertiban, terutama di era modern dengan kompleksitas kejahatan yang semakin berkembang---mulai dari kejahatan siber hingga ekonomi global. Menggeser kedudukan Polri hanya akan mengundang kebingungan struktural dan membuka celah bagi distorsi kelembagaan.

Refleksi Integritas Demokrasi
Evaluasi pelaksanaan Pilkada oleh PDI Perjuangan yang mempersoalkan netralitas Polri patut dipandang sebagai alarm untuk memperkuat integritas demokrasi.

 Tuduhan tersebut, jika benar, seharusnya diuji melalui mekanisme hukum, seperti di Bawaslu atau Mahkamah Konstitusi, bukan dijadikan dasar untuk perubahan struktural yang merugikan. Kritik semacam itu adalah cerminan dari semangat demokrasi, namun harus diolah dalam bingkai hukum yang objektif dan transparan.

Gagasan mengembalikan Polri di bawah kendali TNI atau Kementerian Dalam Negeri adalah langkah mundur yang mengabaikan semangat reformasi. Polri, sebagaimana ditegaskan Pasal 30 UUD 1945, adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. 

Mengubah posisi kelembagaan Polri tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga berpotensi merusak independensi institusi ini, yang merupakan prasyarat untuk menjaga demokrasi tetap sehat dan kuat.

Menjaga Keseimbangan, Memperkuat Transformasi 

Seperti halnya sebuah kapal yang berlayar di samudra luas, demokrasi membutuhkan nahkoda yang tegas, namun juga fleksibel dalam menyesuaikan arah. Dalam konteks ini, transformasi Polri adalah upaya memperkuat integritas tanpa mengubah posisi kelembagaannya. 

Riset SETARA Institute (2024) menegaskan bahwa fokus reformasi harus pada kinerja Polri, bukan pada kedudukannya. Penguatan Kompolnas sebagai instrumen pengawas adalah salah satu langkah strategis untuk memastikan Polri tetap profesional, netral, dan berintegritas.

Di sisi lain, perbaikan regulasi Pemilu dan Pilkada adalah langkah paralel yang tak kalah penting. Penegasan netralitas ASN, TNI, dan Polri sebagai tindak pidana, sebagaimana diarahkan Mahkamah Konstitusi, adalah fondasi untuk mencegah politisasi institusi negara. Dengan demikian, demokrasi yang kita bangun tidak hanya menjadi proses prosedural, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai keadilan dan transparansi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline