Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Kejaksaan memegang peranan yang tidak hanya vital, tetapi juga sarat dengan keagungan tradisi. Prinsip jaksa adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam menjalankan penuntutan (een en ondeelbaar) adalah jantung dari eksistensi Kejaksaan.
Sebuah kesatuan yang bukan hanya simbol, melainkan pondasi mutlak dalam menjamin keadilan yang tak terpecah. Penuntutan adalah tugas yang menegaskan eksistensi lembaga ini, fondasi yang seharusnya tak tergantikan dan tak terbelah.
Namun, ‘pembelahan’ kewenangan yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga penuntut juga, membawa pertanyaan yang mendesak: apakah fragmentasi ini menjadi awal terkikisnya dignitas kejaksaan?
Ketika penuntutan terpisah-pisah, prinsip een en ondeelbaar mulai terganggu, dan apa yang dulunya menyatukan Kejaksaan dalam peran tunggal kini mulai terancam tercerai-berai. Jika kekuatan lembaga ini terpecah, akankah kita tetap bisa berbicara tentang keadilan yang utuh dan tak terkotori?
Dalam serpihan ini, bukan hanya soal teknis yang dipertaruhkan, tetapi juga esensi moral, akuntabilitas yang dulunya terpadu kini menjadi kabur, dan di ujung jalan, kepercayaan masyarakat bisa semakin pudar.
Penuntutan dan Identitas Kejaksaan
Penuntutan adalah nyawa Kejaksaan. Dalam sistem peradilan, Korps Adhyaksa didesain untuk menjadi lembaga tunggal yang mengelola proses penuntutan dengan independensi penuh. Seiring berjalannya waktu, munculnya lembaga anti rasuah, KPK dengan kewenangan yang tumpang tindih membawa dilema bagi Kejaksaan.
Ketika tugas penuntutan tak lagi sepenuhnya berada dalam kendali jaksa, dignitas institusi tersebut mulai retak. Ini bukan hanya soal teknis, tapi juga soal otoritas moral. Kejaksaan yang dulu berdiri teguh sebagai satu-satunya penuntut kini harus berbagi wewenang, yang dapat mengarah pada merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan.
Fragmentasi: Ancaman pada Akuntabilitas
Dalam konteks teori penegakan hukum, akuntabilitas menjadi semakin samar ketika kewenangan penuntutan terbagi. Siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi kesalahan dalam proses hukum? Apakah Kejaksaan atau KPK?
Masyarakat mungkin akan kesulitan memahami garis batas antara kewenangan dua lembaga ini. Fragmentasi ini, di satu sisi, menciptakan ketidakpastian yang dapat memupus marwah Kejaksaan sebagai lembaga yang berwibawa dalam menuntut keadilan.
Efektivitas dalam Bahaya
Pembagian kewenangan ini juga mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Proses yang seharusnya mengalir dengan cepat dan terstruktur bisa tersendat karena adanya dualisme dalam penuntutan.
Konflik kepentingan antar-lembaga, keterlambatan, serta ego institusional dapat menghambat penanganan kasus. Dalam kondisi ini, Kejaksaan menjadi lembaga yang seolah kehilangan pijakan karena fungsi penuntutannya tak lagi eksklusif.
Dilema Kejaksaan: Antara Kredibilitas dan Kompetisi
Meskipun KPK lahir dengan mandat pemberantasan korupsi yang tajam, tetap saja keberadaan dua lembaga yang memiliki kewenangan penuntutan berpotensi menciptakan kompetisi yang tidak sehat. Alih-alih bersinergi, fragmentasi ini bisa menciptakan persaingan yang justru merusak integritas keseluruhan sistem peradilan pidana.