Diskursus mengenai Livelihood dalam konteks Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) menyisakan banyak tanya dan perdebatan. Bukan lantaran esensi livelihood yang tidak kompatibel dengan orientasi gerak dan langkah Kotaku, tetapi ide dan cita-cita Chambers ini secara epestimologis seolah menemukan jalan terjal manakala objek kajiannya bergeser dari kerentanan masyarakat atau individual dari berbagai goncangan sosial dan alam kepada 7 indikator itu.
Kita mafhum, sejarah munculnya livelihood itu, di mana episode sebelumya praktik dehumanisasi dan pengabaian peran-peran masyarakat lokal sungguh menjadi fakta yang sulit dihindari. Oleh karenanya, pembangunan kemanusiaan untuk lebih berkeadaban dan berkeadilan tak hanya menjadi slogan yang miskin makna. Tetapi tuna bukti, pembangunan yang berorientasi agar masyarakat keluar dari kubang kemiskinan menjadi ilusi dan coretan kata. Hal ini dilatari konsep dan pendekatan pembangunan yang tak berpijak pada nilai-nilai lokal dan berdasarkan potensi masyarakat lokal. Pembangunan yang dilakukan hanya menggugurkan kewajiban, sebatas itu.
Oleh karena itu, tidak salah jika livelihood menjadi pendekatan atau strategi pembangunan agar kemakmuran masyarakat itu segera terwujud. Tentu, secara universal bahwa livelihood adalah strategi agar bisa survive dalam mengarungi kehidupan.
Ada yang memiliki cara dan tafsir simplistis mengenai livelihood, misalnya menanam tomat, menanam lombok di gang-gang desa itu bahkan jika ada sungai menganggur kemudian diberikan jaring dan dikasih ikan itu sudah bisa diklaim manefestasi dari livelihood.
Anggapan seperti itu sebenarnya tidak sepenuhnya keliru, tetapi mungkin juga kurang cocok. Sebagaimana pengantar Arief Budiman dalam Buku Ideologi dan Utopia Karl Mannheim ( 1991: xiv ) bahwa pendapat seseorang itu dilatari oleh kultur, literatur dan lingkungan sosial di sekitarnya.
Livelihood mungkin bukan frase kaku yang tak bisa ditafsirkan. Meskipun artikulasi kepada livelihood tak mencerabut makna dan prinsip dasarnya sebagaimana cita-cita penggagasnya. Livelihood hadir semata-mata untuk memberikan formulasi baru kepada masyarakat miskin agar lebih sanggup dan mampu bertahan manakala ada ancaman sosial dan alam secara tiba-tiba.
Tengoklah Livelihood menurut Chambers (1991) sebuah kondisi yang terdiri dari manusia, kemampuan dan sarana yang diperlukan untuk melangsungkan hidup. Dalam hal ini yang dimaksud sarana adalah modal sosial, manusia,alam modal keuangan dan modal fisik. Dalam bahasa yang lebih masyhur disebut dengan pentagonal asset.
Akar tunggang yang menyebabkan masyarakat miskin dan tidak bisa bertahan hidup dan mampu menghadapi goncangan sosial dan alam di mana pada gilirannya pentagonal asset menjadi obat mujarab agar masyarakat baik sebagai sebagai individu dan komunitas mampu bertahan. Jika meminjam bahasanya Cain and Mcnicoll (1988) bahwa pentagonal aset itu setali mata uang dengan deversifikasi
Dalam narasi substansial, livelihood adalah penghidupan. Tetapi akan menjadi problem serius jika penghidupan itu tidak bisa berlanjut, maka livelihood tanpa sustainable akan kehilangan substansinya. Keberlanjutan dan ketahanan penghidupan seseorang tak hanya bertumpu pada akar tunggang aset.
Akan tetapi memaksimalkan potensi aset yang dimiliki menjadi jangkar kehidupan dan penghidupan untuk meneruskan penghidupan selanjutnya
Terlepas dari ragam tafsir terhadap livelihood, lebih-lebih dalam panggung program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) livelihood tidak lahir dalam ruang hampa. Pergulatan realitas pembangunan yang ahistoris dan cenderung menutup mata dengan realitas sosial menjadi pemicu lahirnya metodologi atau pendekatan pembangunan dengan menggunakan mazhab livelihood.