Oleh. Abdus Salam*)
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UMM
Seolah tidak pernah berhenti, kekerasan yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) menjadi potret buram masalah kebangsaan saat ini. Disatu sisi, TKI dinilai pahlawan devisa bagi pendapatan keuangan Negara yang sangat fantastis, tetapi di sisi lain, perlakuan tidak manusiawi, biadab kerapkali mendera para TKI itu. Hal ini terjadi lantaran Negara tidak berdaya melakukan diplomasi dengan Negara -negara yang menjadi sasaran atau ditempati TKI mengais rejeki itu. Dan pada gilirannya, tidak hanya TKI yang menjadi korban pelecehan, yang lebih tragis adalah martabat kebangsaan kita diinjak-injak oleh Negara tersebut. Kesan yang tampak adalah bahwa Indonesia adalah Negara besar, tetapi tidak bernyali, Negara lemah yang gampang dipermainkan. Melindungi warga Negara yang ada di dalam negeri saja pemerintah tidak serius, apalagi warga Negara yang ada di luar negeri.
Lahirnya Undang Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menjadi pepesan kosong yang tidak kuasa menghentikan tindak kekerasan terhadap TKI. Hal ini terbukti manakala data yang ditunjukan oleh Migrant Care ternyata terdapat 5.336 kasus kekerasan terhadap TKI. UU itu hanya menjadi bagian dari proyek legislasi yang tidak berimplikasi pada perbaikan dan penurunan angka kekerasan yang dialami TKI. Normative dan tidak substansialis. Akhirnya, jauh panggang dari api. Lihat saja kasus Nirmala Bonat TKI asal NTT yang mengalami perlakukan keji pada tahun 2004 dari majikannya Malaysia, Sumiati TKI asal NTB yang berniat merubah nasib dan mencari sesuab nasi. Alih-alih kesejajahteraan dan kebahagiaan yang diperoleh, justru nasib sial, penyiksaan, penderitaan yang diraih.
Selama Negara ini berdiam, Negara hanya serius mengurusi devisa para TKI, tetapi abai dan lalai melindungi TKI dari perlakuan tidak manusiawi, maka kekerasan terhadap TKI tidak pernah berhenti, jumlah kekerasan dan penyiksaan terhadap TKI tiap tahun semakin bertambah. Di tengah deretan panjang jumlah kekerasan yang dialami TKI, Presiden SBY berkilah dari 4 juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, hanya 0,1 persen yang bermasalah. Berarti sebanyak 99,1 persen TKI tidak memiliki masalah. Permasalahan itu di antaranya, keterlambatan pembayaran, perlakuan kurang baik sampai dengan kekersan fisik, hingga kekerasan seksual. Statemen itu dibantah keras dan diaragukan oleh Anis Hidayah.
Kiranya, semakin Nampak bahwa pemerintahan SBY tidak serius dalam menangani kekerasan terhadap TKI, logika matematika mematikan nalar logis SBY bahwa nyawa manusia itu bukan masalah angka, tetapi persoalan kemanusiaan yang harus dihargai dan dilindungi bagi setiap warga Negara. Dalil ini seolah bentuk apologistik dari pemerintah yang tidak berdaya melindungi TKI dari tindak kekerasan oleh Negara-negara penyalur tenaga kerja. Di samping itu, masalah bargaining position terkait dengan diplomasi pemerintah Indonesia yang perlu ditingkatkan, jika tidak, kekerasan terhadap TKI tidak akan pernah berhenti dan bisa dikurangi.
Sejatinya, Negara harus hadir dan bertanggungjawab manakala terjadi kekerasan yang menimpa TKI, terlepas legal dan illegal bagi TKI itu. Peran -peran politik luar negeri yang harus dioptimalkan oleh pemerintah melalui Menlu dan diplomasi tingkat tinggi yang selama ini kurang berjalan secara apik, dimana pada gilirannya harga diri bangsa yang menjadi taruhannya.
Jika mencermati kasus kekerasan yang menimpa para TKI, maka pemerintah tidak sekadar berorientasi pada profit melalui devisa para buruh TKI itu, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menteri tenaga kerja dan transmigrasi memaksimalkan regulasi yang sudah ada, pola komunikasi dengan para perusahaan penyalur tenaga kerja (PJTKI) perlu dintensifkan. Begitu juga, mengonontrol PJTKI yang illegal perlu dimaksimalkan. Dengan demikian, kasus-kasus kekerasan TKI, pola pembinaan terhadap TKI, serta Negara yang akan menjadi tempat TKI menjadi bagian dari tugas dari pemerintah untuk memberikan bimbingan mengenai kultur-sosial dinegara tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H