Lihat ke Halaman Asli

Kenduri Maulid di Aceh dalam Kritik

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bila sapi dan kambing punya akal seperti kita, yang gemuk dan sehat mulai hari ini akan terus gelisah tanpa henti. Mereka merasakan itu sebab masyarakat Aceh kembali memperingati maulid Nabi Muhammad saw, mulai hari ini hingga empat bulan ke depan. Binatang-binatang itu menunggu maut yang bisa datang kapan saja dengan parang terhunus di lehernya. Masyarakat Aceh hampir tidak pernah merayakan Maulid Rasul tanpa kenduri maulid dengan melibatkan eungkot sie (daging).

Kenduri maulid merupakan ajang silaturrahmi masyarakat Aceh dengan sesama warga kampung, bahkan tak jarang mereka turut mengundang kerabat dari kampung tetangga untuk turut larut dalam kemeriahan maulid Nabi di kampungnya. Kenduri maulid ini melibatkan banyak warga kampung, mulai dari persiapan untuk memasak, memasak bersama, hingga santap kenduri pun bersama. Tak peduli dia seorang pejabat atau petani, semuanya berbaur menjadi satu dalam semangat maulid, pajoh bu maulod (makan nasi maulid; kenduri maulid).

Yang menarik, hampir setiap kali maulid Nabi masyarakat Aceh selalu melibatkan setidaknya satu ekor binatang ternak untuk dijadikan menu utama dalam kegiatan tersebut, bahkan lebih. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa kegiatan ini memang event akbar yang melibatkan banyak warga dalam proses pelaksanaannya.

Pelaksanaan maulid di Aceh akhir-akhir ini menjadi sorotan tajam kritikus. Hal ini disebabkan oleh anggapan minimnya serapan hikmah yang dipetik oleh masyarakat dalam perayaan maulid Nabi ini. Masyarakat Aceh mengalokasikan empat bulan sekaligus sebagai bulan maulid Nabi, mulai dari Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, hingga akhir Jumadil Akhir. Waktu yang cukup lama untuk memperingati maulid. Padahal, Nabi Muhammad sendiri lahir secara normal dan lancar hanya pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun Fiil (Gajah) atau tahun 571 M, tidak selama perayaan maulid masyarakat Aceh.

Kritikus menilai bahwa masyarakat Aceh masa kini hanya menjadikan momentum ini sebagai seremonial saja, mengadakan kenduri maulid, baca likee Aceh dan barzanji, dalail khairat, dan ceramah agama yang banyak unsur humornya. Bila penceramah tidak mampu mengeluarkan humor saat ceramah, dipastikan penceramah tersebut tidak akan dihadirkan lagi pada perayaan maulid tahun-tahun mendatang.

Kritikus memandang kegiatan-kegiatan tersebut lebih banyak mengandung unsur hiburannya, tidak menyentuh esensi dari perayaan maulid itu sendiri. Bahkan dalam kolom Opini Serambi Indonesia tanggal 24 Februari 2010 dengan Judul Membajak Kelahiran Nabi,penulis tulisan tersebut menuliskan, “....maulid menjadi ‘bulan perbaikan gizi’. Kelompok ‘zikir maulid’ dengan sengaja jauh-jauh hari telah dipersiapkan untuk mengisi salah satu serimonial peringatan maulid Nabi yang diistilahkan dengan ‘group zike moloed’.” Mereka mendapat undangan tampil dimana-mana dan makan kenduri maulid di semua tempat pentas mereka.

Pada paragraf yang lain, orang yang sama juga menuliskan bahwa dalail dan zikir yang dibaca pada waktu maulid, tidak dapat ditangkap maknanya oleh orang awam, sebab berbahasa Arab. “Seperti ‘cina’ mendengar tahlilan.” Tulisnya.

Kritikus menilai keadaan ini membuat makna maulid yang ‘seharusnya’ menjadi terpinggirkan, seperti meneladani sikap kesederhanaan Rasulullah dalam berbuat, sikap arif, bijaksana, dan sifat-sifat terpuji Rasul lainnya, sebab tenggelam dalam hip-hip hura kenduri maulid.

Saya tidak ingin menyalahkan kritikus atau pun pihak lain dalam tulisan saya ini. Namun, mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi, sehingga jelas duduk persoalan kenapa bisa timbul masalah seperti ini.

Aceh masa lampau memiliki sejarah budaya yang kompleks. Sebagai wilayah yang termasuk dalam kawasan pelayaran strategis, Aceh menjadi tempat transit bagi pelayar dari Timur yang hendak ke Barat maupun sebaliknya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pedagang masa itu untuk berbisnis di wilayah yang dipandang potensial ini.

Pada masa penyebaran Islam, pedagang-pedagang muslim dari Arab, Gujarat dan Persia juga melakukan ekspansi dagang hingga ke Aceh. Beberapa di antara mereka menyebarkan agama Islam kepada pribumi yang dekat dengan mereka, bahkan ada yang menikah dengan penduduk pribumi. Pembauran ini menyebabkan lahirnya keturunan-keturunan muslim di Aceh. Mereka yang datang berdagang ini juga membawa budaya dari tempat mereka berasal, sehingga terjadi perpaduan budaya (asimilasi) luar dengan budaya Aceh. Demikian juga budaya agama nenek moyang sebelum islam, di-Islam-kan kemudian oleh moyang orang Aceh yang telah memeluk Islam. Salah satunya adalah prosesi peusijuek (tepung tawar; biasa dilakukan untuk mendoakan seseorang supaya selamat dalam perjalanan atau baru tiba dari perjalanan jauh, memberikan ucapan selamat, dan sebagainya, dengan cara menaburkan biji padi ke arah orang tersebut dengan gerakan melingkar, menyuapi bu leukat (tumpeng), dan memercikkan air dengan dedaunan (oen seunijeuk) sambil membaca doa mengharapkan ridha Allah), transformasi dari budaya Hindu Aceh klasik menjadi budaya masyarakat muslim Aceh yang masih dipertahankan hingga kini. Bila dulu peusijuek dilakukan untuk ritual pemujaan dengan membaca mantra-mantra tertentu dan tujuan-tujuan tertentu, maka kini peusijuek telah menjadi budaya masyarakat Aceh dengan bacaan doa untuk mengharapkan ridha Allah dan tetap melestarikan budaya masa lampau yang dikemaskinikan dengan nilai-nilai Islam.

Di metode masuknya Islam melalui cara-cara seperti di saya uraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Aceh melalui jalan damai, tanpa proses penaklukan melalui perang seperti yang terjadi pada beberapa wilayah yang lain. Keadaan ini membuat Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat kala itu, sebab Islam tidak dianggap ekstrim, namun cinta damai. Konsekuensinya, masyarakat Aceh menjadi terbuka dengan perubahan, asalkan perubahan itu tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam Islam. Hal ini pulalah yang membuat paham-paham ekstrim sulit diterima oleh orang Aceh, sebab nenek moyang orang Aceh telah mencontohkan hal-hal bijak yang layak ditiru oleh generasi setelahnya.

Keadaan terbuka terhadap perubahan dan budaya membuat Aceh begitu kaya dengan budaya yang mengandung nilai-nilai Islam. Hal tersebut diperkuat dengan lahirnya Qanun Meukuta Alam pada masa kerajaan Islam Aceh tempo dulu. Qanun Meukuta Alam mempersatukan seluruh lini kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai Islam. Qanun ini juga praktis membuat budaya masyarakat Aceh masa lampau ditransformasi menjadi budaya Aceh baru yang Islami.

Keberadaan perayaan budaya seperti kenduri maulid, Barzanji, dan dalail khairat juga dilindungi oleh qanun tersebut sebab tidak mengandung unsur khurafat dalam pelaksanaannya. Kenduri maulid ditujukan untuk ajang silaturrahmi massal untuk memperkokoh tali silaturrahmi masyarakat, barzanji isinya berupa shalawat kepada Rasul yang dipadu dengan syair, demikian juga dengan dalail khairat yang isinya dzikir, shalawat, yang juga dipadu dengan syair. Tidak ada unsur mistis yang menyimpang, ditujukan untuk syiar, ibadah dan juga hiburan.

Lalu dimana letak dosanya orang Aceh yang merayakan maulid hingga empat bulan berturut-turut?

Beberapa kritikus yang pernah saya jumpai memvonis bahwa perayaan yang selama ini dilaksanakan oleh rakyat aceh hanya bersifat seremonial dan jauh dari hikmah. Lebih lanjut sebagian orang menganggapnya sebagai bid’ah. Namun pengikut asy-‘Ariyah, termasuk orang Aceh sendiri menganggapnya sebagai bid’ah hasanah, hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi namun memiliki nilai postif dan tidak bertentangan dengan syara’.

Menurut saya pribadi, anggapan kritikus ini tidak seharusnya kita salahkan. Namun sebaliknya, marilah kita introspeksi diri, apakah perayaan yang dilakukan besar-besaran hingga ke pelosok itu benar seperti dugaan kritikus, tidak menyentuh esensi maulid, atau hanya gurauan mereka saja?

Penyelenggaraan perayaan yang menghabiskan dana yang banyak tersebut memang jauh dari kesan sederhana bila diukur dengan hitung-hitungan rupiah. Namun ikatan kekeluargaan masyarakat kampung yang terbangun akibat sikap saling kerjasama, yang terbentuk melalui kegiatan bersama tersebut, kiranya jauh lebih mahal dibandingkan harga rupiah tadi. Masyarakat melakukan kegiatan tersebut dengan swadaya dari sesamanya. Mulai dari pengumpulan dana, penyiapan bahan, pelaksanaan serangkaian kegiatan, baik itu kenduri maulid, likee Aceh, dalail khairat, beragam lomba, dan kegiatan lainnya, semuanya dilakukan secara gotong royong. Tidak ada yang salah. Dan justru timbul pertanyaan, ‘lantas kenapa dikritik?’

Saya cenderung berfikiran untuk menurunkan level bahasa ‘kritikan’ menjadi ‘dorongan’ bagi masyarakat Aceh agar hendaknya menambahkan hikmah yang diperoleh dari perayaan maulid yang begitu lama ini, dengan keteladanan dari Rasul terhadap individu muslim yang merayakan maulid. Sebab di lain sisi, masyarakat Aceh justru mendapatkan hikmah berlimpah dari perayaan maulid yang mereka laksanakan. Hikmah yang diperoleh tersebut berupa semangat kerja sama dan kekeluargaan yang timbul di tengah-tengah masyarakat yang semakin individualis. Ini manfaat yang luar biasa dan tidak dapat dinilai dengan hitung-hitungan rupiah. Di hari-hari biasa, sebagian anggota masyarakat hidup dalam blok-blok rumah mereka sendiri, keluar untuk bekerja di pagi hari dan pulang saat matahari telah menyarungkan sinarnya. Golongan masyarakat seperti ini hanya memiliki sedikit waktu luang untuk berinteraksi dengan sesama warga kampung. Juga berupa ‘dorongan’ untuk melaksanakan perayaan maulid dengan lebih sederhana, tidak hanya mengedepankan seremoni, namun penekanan pada aspek hikmah di balik perayaan tersebut.

Rasulullah saw pernah menyatukan masyarakat Anshar dan Muhajirin kala hijrah ke Madinah, dengan mempersaudarakan mereka. Sedangkan dalam momentum maulid Nabi ini, masyarakat Aceh juga mempraktekkannya dengan bersatu kembali melalui kegiatan yang mereka laksanakan, kenduri maulid.

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad. Wallahua’lam....

Rekomendasi bacaan tentang Maulid di Aceh :

http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/26/maulid-di-aceh/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline