Lihat ke Halaman Asli

Bang Pilot

Petani, penangkar benih tanaman, konsultan pertanian.

Krisis Ekonomi dan Tawaran Solusi

Diperbarui: 2 September 2015   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Krisis ekonomi mulai melanda Indonesia dan sebagian negara-negara lainnya. Salah satu sebabnya adalah karena harga minyak mentah dan batu bara jatuh ke titik nadir, seiring Amerika menemukan ladang minyak dan gas baru yang bernama Shale. Inggris juga disebut-sebut ada menemukan ladang minyak baru dengan potensi kandungan minyak bumi 100 miliar barrel, di dekat bandara Gatwick, sekitar 47,5 kilometer dari London.

Penurunan harga bahan bakar fosil itu pun lalu diikuti dengan anjloknya harga berbagai komoditi lainnya, termasuk karet dan CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah). Jatuhnya harga kedua komoditi perkebunan itu tidaklah mengherankan, karena karet dan CPO memang terkait erat dengan minyak bumi dalam industri pembuatan ban dan bio diesel.

Harga lateks/getah karet satu hari ditingkat pekebun saat ini berkisar antara Rp.5.000-5.500/kg, sedangkan harga TBS (tandan buah segar sawit)di tingkat pekebun plasma adalah Rp.1.100/kg. Yang menyedihkan, harga TBS milik pekebun rakyat, saat ini hanya dihargai Rp.600-650/kg. Setidaknya itulah yang terjadi di Sumatera Utara dan Riau.

Dari beberapa penelpon yang menghubungi penulis, di sebagian daerah lainnya keadaannya malah lebih parah. Harga TBS hanya tersisa di level Rp.400/kg, dari sebelumnya Rp.1.350/kg.

Petani pekebun menjerit. Daya beli masyarakat pun menurun tajam. Pasar-pasar sepi. Pabrik dan industri juga mulai mem-PHK karyawannya, karena tak mampu menutupi biaya produksi akibat minimnya order. Yang punya hajatan pun urung melaksanakan pesta, khawatir calon tamu tak punya uang untuk menyumbang.

Lalu, apa solusi?

Untuk pemerintah, sebaiknya sesegera mungkin lebih memperhatikan sektor riil. Usaha mikro, kecil dan menengah yang dulu terbukti menjadi motor penggerak dan penyelamat ekonomi bangsa saat terjadi badai krisis moneter, harus dibantu dan diperkuat. Pemerintah jangan lagi hanya berkutat di sektor makro, semisal buy back saham BUMN, karena efeknya tidak akan langsung terasa bagi masyarakat. Saat kemampuan beli negara sangat terbatas, buy back itu hanya menjadi ibarat menggarami lautan, kata Faisal Basri, seorang Kompasianer kesohor dari Jakarta. Uang 10 trilyun Rupiah yang dicadangkan untuk membeli kembali saham BUMN itu tidak akan memberi efek penguatan ekonomi Indonesia, di tengah-tengah kapitalisasi valas dan stock yang sudah mengglobal.

Untuk petani dan pekebun, segeralah melakukan diversifikasi tanaman. Jangan lagi hanya menggantungkan periuk nasi pada karet dan sawit. Ada banyak sekali jenis tanaman lainnya yang harga jualnya lebih bebas dari pengaruh naik turunnya harga minyak bumi. Produk dari tanaman-tanaman itu terbukti harganya tidak pernah mengalami penurunan terlalu signifikan, artinya, meski pun harganya turun tetapi masih tetap menguntungkan untuk dikelola.

Di lain sisi, beberapa produk pertanian dan perkebunan juga punya keunggulan lain dibandingkan dengan kelapa sawit. Lada putih misalnya. Petani bisa menyimpannya dalam masa yang cukup lama, menunggu harga membaik, jika diperlukan. Berbeda dengan TBS sawit, yang sama sekali tak punya masa simpan. Dua puluh empat jam saja terlambat sampai ke PKS (pabrik kelapa sawit), kadar asam dalam TBS sudah naik tinggi hingga CPO-nya tak layak dijadikan bahan makanan manusia. CPO yang begini biasanya hanya akan dijadikan bahan baku pembuatan bio diesel.

Apa saja jenis tanaman yang potensial menggantikan karet dan sawit? Berikut disampaikan tabel hasil rerata brutto berbagai jenis tanaman yang familiar dibudidayakan di Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline