Saat ini, sebagian besar pekebun sawit dan karet di Indonesia sedang tertekan. Harga TBS (tandan buah segar) dan karet jatuh ke dasar jurang. Berdasarkan pantauan penulis pada hari ini, harga TBS di Batu Bara, Sumut, di tingkat petani, hanya tinggal Rp.770/kg. Sementara harga karet satu hari sudah lama terbenam di angka Rp.5.000/kg.
Apa sebab? Sebabnya sederhana saja. Harga minyak dunia merosot tajam, kabar terakhir ada di kisaran USD.50/barrel. Harga kedua komoditi itu memang terkait erat dengan harga minyak dunia, karena karet dan minyak bumi adalah bahan dasar pembuatan ban, sedangkan CPO dan minyak bumi adalah paduan bagi pembuatan bio solar.
Apa solusinya? Revolusi pertanian! Berhentilah menanam secara besar-besaran semua tanaman yang harga jualnya berkaitan erat dengan harga minyak bumi. Beralihlah kepada tanaman yang harga produknya lebih stabil, bahkan cenderung terus menanjak. Cobalah menanam tanaman yang produknya di pasar dalam negeri masih diimpor. Kuasai pasar lokal saja dulu.
Apa saja itu? Ada banyak pilihan. Petani dan pekebun kita bisa bertanam aren, asam gelugur, gaharu,kayu manis, lada, seledri, melinjo, pepaya, pala, singkong gajah, jati putih, sengon, jabon, durian dan jambu air unggulan. Dan masih banyak lagi jenis tanaman yang sebenarnya akan menghasilkan uang jauh lebih besar ketimbang dua komoditi usang berupa sawit dan karet.
Dari sekian jenis tanaman itu, mana yang paling banyak menghasilkan uang? Sesuai urutan, tetapi tidak mutlak. Pertanian dan perkebunan itu juga adalah aplikasi dari modal, ilmu dan ketekunan. Jika hanya mengandalkan tanah luas dan uang banyak, maka bisa saja usaha pertanian atau perkebunan kita bukannya menguntungkan, malah bengkrap.
Apa sebab utama petani dan pekebun tidak berhasil? Malas belajar dan malas menerapkan apa yang sudah dipelajarinya.
Di atas ada tanaman seledri, memangnya siapa yang mau beli seledri berton-ton? Kan ada pabrik shampo yang mengunakan bahan dasar seledri? Seledri juga digunakan sebagai bahan dasar parfum dan obat-obatan. Jadi petani itu harus pintar. Bukan cuma pintar menghasilkan produk, tapi juga mampu memasarkannya. Tanamlah tanaman yang harga jual produknya tinggi dan mudah memasarkannya.
Jadi petani haruslah pintar. Melihat dan memanfaatkan peluang. Jangan ada yang sia-sia atau tidak termanfaatkan dengan baik. Contoh kasus : di Sumba, ada banyak pohon aren yang ditebang lalu diambil sagunya. Perpohon rerata hanya dibayar Rp.200.000. Padahal jika disadap, diambil niranya lalu dibuat menjadi gula aren, nilai ekonominya bisa lebih dari Rp.10.000.000 perpohon. Begitu juga di beberapa desa di Tapanuli Selatan, ada banyak asam gelugur yang terbuang percuma karena pemilik pohon tak tahu memasarkannya. Padahal di Belawan, dekat Medan, harga perkilonya sudah di angka Rp.35.000/kg.
Jadi petani itu, kalau pria jangan kebanyakan berkombur politik di warung jajan, kalau wanita jangan kebanyakan nonton sinetron. Belajar! Zaman sekarang begitu mudahnya kalau mau belajar ilmu pertanian. Ada ribuan situs di internet yang membahas masalah pertanian. Tak ketinggalan juga sudah tersedia ribuan judul buku yang akan sangat membantu para petani dalam mengolah lahan pertaniannya. Beli buku itu, baca! Jangan sukanya cuma beli kupon togel sama koleksi batu akik saja.
Beli togel bisa tiap hari, beli akik bisa tiap bulan, tapi beli buku pertanian setahun sekali saja pun payah. Padahal kita seorang petani. Petani itu hidup dari pertanian, bukan dari mimpi dapat lotere.
Marilah berubah, petani Indonesia. Jadilah petani yang pandai. Jangan cuma mengekor kebiasaan nenek moyang. Tanamlah jenis tanaman yang secara real memang lebih menghasilkan fulus. Belajar yang rajin. Terapkan apa yang sudah dipelajari itu. Bisa uji coba dalam skala kecil dulu. Jangan patah arang kalau gagal. Ambil hikmahnya untuk perbaikan ke depan.