Lihat ke Halaman Asli

Bang Pilot

Petani, penangkar benih tanaman, konsultan pertanian.

Mendirikan Pabrik Kelapa Sawit Mini, Tantangan dan Harapan

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Beberapa telepon masuk. Dari beberapa pengusaha, calon investor pembangunan pabrik kelapa sawit mini (selanjutnya ditulis PKSM) di berbagai daerah. Umumnya mereka berminat menanamkan modalnya, karena melihat masih banyaknya tandan buah segar sawit (TBS) milik petani rakyat di berbagai daerah yang menjadi nyaris  tidak bernilai akibat jauhnya pabrik kelapa sawit yang bersedia membeli.

 

Di daerah Tarakan, Kalimantan, misalnya. Ada seorang Pak Anton Chan, pemilik 600 hektar perkebunan kelapa sawit. Tanaman kelapa sawitnya sudah berproduksi maksimal. Tetapi sang pemilik tak bisa menikmati hasil perkebunannya. Ongkos angkut dari lapangan ke PKS terdekat  mencapai Rp.400/kg TBS. Sesampainya di peron tunggu PKS, truk tertahan di panjangnya antrian. Kadang bisa sampai tiga hari. Yakni saat panen raya. Pemilik PKS lebih mengutamakan pengolahan TBS dari perkebunan miliknya sendiri. Sedangkan kapasitas PKS masih terbatas. Meski sudah dioperasikan selama 24 jam setiap harinya. TBS tetap over load.  

 

TBS yang sudah terlalu lama antri itu pun akhirnya ditimbang. Tonase susut jauh. TBS yang awalnya grade A, kini turun jadi grade B, kadang jatuh jadi grade C, karena sudah mulai terdekomposisi. Bila harga normal TBS itu adalah di kisaran Rp.1.300/kg, kini Pak Anton Chan hanya menerima nilai di seputaran Rp.700-800/kg. Dipotong ongkos angkut, upah panen, biaya perawatan kebun  dan persentase refund investasi, jangankan untung, bisa-bisa buntung. 

 

TBS bukanlah bahan mentah yang tahan lama. Maksimal 24 jam setelah panen, ia harus diolah. Jika tidak, maka kandungan asamnya akan naik. Akibatnya CPO yang dihasilkan tidak layak untuk dijadikan bahan pangan. CPO jenis ini biasa disebut dengan Asam Tinggi (AT).  AT hanya layak untuk bahan baku biodiesel. Sementara harga biodiesel di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan minyak makan curah, misalnya. Apalagi kalau dibandingkan dengan harga minyak makan dalam kemasan.

 

Salah satu dari solusi masalah di atas adalah dengan membangun PKSM.  Pabrik kelapa sawit mini, yang mampu mengolah TBS antara lima ton sampai dengan lima belas ton perjam.  Dibawahnya lagi ada pabrik kelapa sawit mikro, yang kapasitas olahnya antara 0,5 ton s/d 5 ton perjam.

 

Lalu apa kendalanya?

 

1.Biaya mendirikan PKSM itu cukup mahal. Untuk wilayah Sumatera daratan saja, perkiraan kasarnya adalah Rp.2 miliar/ton/jam. Artinya, untuk membangun satu unit PKSM berkapasitas olah TBS 5 ton/jam, dibutuhkan dana sekitar 10 miliar rupiah. Itu belum termasuk :

 

2.Mahalnya izin. Ada sederet panjang izin yang harus diurus sebelum mendirikan PKS/PKSM. Ini daftarnya :

 

  1. UKL – UPL / RKL – RPL / AMDAL.
  2. SIUPP.
  3. SITU.
  4. HGB.
  5. IMB PABRIK.
  6. IMB Perumahan.
  7. Izin Gangguan HO.
  8. Izin Pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah  (IPAL).
  9. Izin Radio.
10. Izin Land Aplikasi (jika ada).
11. Izin Mesin-mesin Pabrik :
12. Izin Timbangan.

 

Panjangnya daftar izin itu jelas mencerminkan panjangnya jalur birokrasi, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan.  Akibat hal ini, tak jarang para calon investor kelas menengah yang semula berminat untuk menanamkan modalnya dengan mendirikan PKSM di daerah terpencil, jadi mundur teratur.

 

Akibatnya dapat diduga, TBS milik petani rakyat menumpuk, sering malah tak jadi diangkut. Bila musim penghujan tiba, kondisi ini pun akan makin parah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline