Lihat ke Halaman Asli

Bang Pilot

Petani, penangkar benih tanaman, konsultan pertanian.

Mengapa Petani Kita Masih Miskin?

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1386350795430213150

[caption id="attachment_306870" align="alignnone" width="300" caption="Tanaman singkong gajah milik Bang Pilot, umur 15 hari."][/caption]

Salah satu penyebab petani Indonesia masih miskin adalah kurangnya kemauan petani meninggalkan tanaman tradisionalnya, untuk kemudian beralih kepada komoditi yang jauh lebih bernilai ekonomi

Petani kita umumnya hanya mau menanam varian yang sudah dikuasainya secara turun temurun. Tak sedikit pula yang menanam suatu jenis tanaman karena terpengaruh teman-teman sesama petaninya yang fanatis terhadap suatu varian tertentu.

Selain itu, petani kita kurang kemauan untuk belajar mengenal dan membudidayakan varian baru. “Sudah terbiasa’’, itulah alasan yang selalu diutarakan jika petani ditanya apa sebabnya ia tak mau beralih ke tanaman lain yang jauh lebih menjanjikan.

Kita ambil contoh petani yang menanam satu hektar kelapa sawit. Dalam satu bulan ia akan mengantongi rupiah rerata sekira tiga juta rupiah, dengan catatan harga sawit rp.1.500/kg dan produksi stag pada angka 2 ton/ha/bulan. Kenyataannya, angka-angka di atas sulit untuk dicapai. Menurut wawancara penulis dengan beberapa petani sawit di Sumatera Utara, produksi rerata TBS tanaman kelapa sawit adalah 1,5 ton/ha/bulan dan harga rerata adalah rp.1.200/kg. Jadi, hasilnya adalah : rp.1.800.000/ha/bulan.

Mari kita bandingkan dengan tanaman singkong gajah, misalnya. Satu hektar lahan ditanami 10.000 pokok singkong gajah. Satu pokok menghasilkan minimal 10 kg ubi segar, pada usia 10 bulan. Harga rerata ubi segar ditingkat petani (Sumut) selama 2013 adalah rp.650/kg. Hasil menanam singkong gajah pada lahan satu hektar selama 10 bulan menjadi : 10.000x10x650= 65.000.000/ha/10 bulan. Bandingkan dengan hasil sawit yang cuma rp.18.000.000/ha/10 bulan.

Itu belum dihitung kerugian saat sawit belum berbuah, yakni saat mulai ditanam sampai umur 3 tahun. Otomatis selama 3 tahun itu, petani tidak punya penghasilan, bila penanaman dilakukan secara monokultur. Hal yang tidak dikenal bila petani menanam ketela pohon varian singkong, terutama singkong gajah.

Karena itu, sudah saatnya petani kita beralih kepada komoditi yang lebih menguntungkan. Terutama bagi petani yang memiliki lahan kurang dari 2 hektar, dan lahannya bukan rawa gambut.

Untuk petani yang hanya memiliki lahan gambut, maka penanaman jabon adalah pilihan terbaik. Sementara itu, petani yang lahannya termasuk lahan kritis, kering, berpasir, tandus atau berbatu, disarankan untuk menanam aren. Aren dapat dipadukan dengan tanaman sela lainnya. Yang paling sederhana adalah dengan tanaman rumput pakan ternak sapi.

Tadi siang penulis mewawancarai Andianto, seorang penyadap aren di desa Kampung Banjar, Simalungun, Sumut. Ia mengatakan, dari hanya menyadap 2 pohon aren selama 3 bulan, ia menghasilkan uang 4 juta rupiah. Bagaimana bila ia menyadap 20 pohon aren, atau 40?. Silahkan hitung sendiri hasilnya.

Sebagai catatan, satu hektar lahan bisa ditempati 277 pokok aren.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline