Lihat ke Halaman Asli

Bang Pilot

Petani, penangkar benih tanaman, konsultan pertanian.

Kembali Berjihad Bersama Mujahidin Afganistan Part 2

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

episode : Santri yang Memanggul Senjata

Sepeninggal Al Imam Al Mujjahid Allahuyarham Usamah bin Ladin, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke Kandahar. Perjalanan kembali ke sana bukanlah perkara mudah. Tapi buatku, itu juga bukanlah hal yang terlalu sulit. Ada banyak teman seperjuangan dan para penghubungku yang bersedia membantu menyeludupkan aku melewati berbagai perbatasan yang dijaga ketat pasukan bersenjata. Kami juga sudah hapal jalur-jalur rahasia yang bisa ditembus untuk menuju tanah kelahiran ayah angkatku Allahuyarham Gulbudin Hekmatyar itu.

Akhirnya aku sampai juga di Sana’ El Bayyit. Sebuah daerah di Selatan Kandahar.

Tempat yang gersang, dengan bebukitan penuh bebatuan sebesar gajah bengkak.

Aku mendaki Jabal Laika, sebuah bukit kecil di Sana’ El Bayyit. Tertegun memandangi bebatuan di sana. Sebagian besar permukaan batu itu berlubang-lubang, bekas hantaman peluru dan granat saat perang. Sebagian lagi pecah hancur berkeping terkena pecahan roket ataupun peluru GLM. Bau kematian masih deras menyeruak. Aku tercenung.

***

Saat itu, Ahad, Mei 2001, pasukan Mujahidin sedang mengadakan penyerangan besar-besaran terhadap berbagai kantor pemerintahan Afganistan. Aku dan sahabat lamaku, Syafiq Hariri El Badr, kebagian tugas di garis depan sayap kiri, menyerang kantor Gubernur Kandahar. Syafiq sendiri sebenarnya masih tercatat sebagai siswa madrasah di Kandahar. Umurnya mungkin hanya sekitar 21 tahun. Wajahnya tampan dan bicaranya halus. Syafiq Hariri El Badr adalah teman terbaikku selama ini.

Tapi kami tertahan pasukan pemerintah pimpinan Jenderal Abu Massoud di jalan raya Al Hamzah. Doktar Ramman, komandan kompi kami, memutuskan untuk mundur sembari mengitari gedung gereja Orthodoks, lalu menuju sayap Selatan.

Dalam perjalanan ke Jabal Laika yang letaknya hanya sekitar 350 meter di belakang gereja, pasukan Mujahid kami mendapatkan tekanan yang berat dari dua unit tank T26 milik tentara. Aku dan Syafiq sudah merapat berlindung di balik batu besar.

“Syafiq, hajar pakai panzer crackermu, pilih bagian belakang atas!”, perintahku pada mujahid Syafiq Hariri. Setiap tank memang memiliki perisai yang lebih lemah di bagian belakang.

Syafiq mendekat, aku membantunya memasangkan peluru. Syafiq lalu berdiri, memanggul peluncur roket anti tanknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, Syafiq membidik buritan T26 itu. Wuiisss.... duaarr...! Tank itu meledak, bagian belakangnya terbakar dahsyat. Kelihatannya mesinnya rusak parah. Empat orang awaknya sibuk keluar dari lubang di atas tank. Aku segera menyiram mereka dengan AK47. Dua tewas, dua lainnya urung keluar. Api makin berkobar.

Syafiq kembali menempatkan peluru anti tank ke ujung panzer crackernya. Ini peluru terakhir. Dan posisi kami sudah ketahuan oleh T26 yang satunya. Moncong meriamnya sudah bergerak ke arah kami. Syafiq cepat berdiri kembali. Mujahid satu ini memang berani luar biasa. Syahid memang benar-benar tujuannya.

Aku membungkuk membelakangi batu besar yang jadi pelindung kami. Berdoa semoga Syafiq lebih cepat dan tidak meleset.

Aku berpaling, melihat Syafiq sudah menarik pelatuk luncur roketnya. Di saat yang sama, aku mendengar dentuman meriam T26!

Reflek aku membanting diri ke tanah. Setengah detik kemudian,... duaaarrr... blaarrr...! Dua suara ledakan menggelegar dahsyat. Batu besar pelindung kami hancur berkeping. Blast yang tercipta membuat telingaku berdenging keras. Mataku berkunang. Dada sesak seperti hendak pecah. Beberapa kepingan batu menimpa tubuhku. Darah mulai mengalir dari betisku yang terasa sakit luar biasa.

Aku berusaha melihat Syafiq. Sahabat baikku itu ternyata terlempar ke celah batu di belakang kami. Ia diam tak bergerak. Posisinya tertekuk. Darah segar bercampur debu memenuhi sekujur tubuhnya. Luka besar menghias pelipis kanannya. Syafiq diam membeku.

Aku nanar. Hatiku sakit sekali. Sedih sekali. Aku menjerit sekuatnya. Namun tak ada suara yang keluar. Mungkin paru-paruku sudah terluka. Atau tenggorokanku sudah tak berfungsi. Aku bahkan tak merasakan ketika dua bulir bening hangat mengalir jatuh dari sudut mataku.

Aku berusaha berontak bangun. Tapi tubuhku sudah tak mau diajak bergerak. Tanganku bahkan tak mampu membuang pecahan batu yang masih menimpaku.

Aku lalu pingsan.

bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline