Lihat ke Halaman Asli

Bang Pilot

Petani, penangkar benih tanaman, konsultan pertanian.

Cara Mengoplos Minuman Tuak ala Sontoloyo

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Diketahui bahwa hasil sadapan satu pohon aren yang dibudidayakan secara intensif akan menghasilkan rerata 10 liter nira perharinya.

Jika dijual langsung dalam bentuk nira segar atau pun dalam bentuk minuman beralkohol tuak, maka akan di dapat uang 10 x 5.000 = Rp.50.000.-

Sedangkan bila nira itu diolah menjadi gula aren,maka akan didapat gula aren seberat 1,3 kg. Di pasaran lokal kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, harganya adalah 1,3 x 25.000 = 32.500 Rupiah.

Nilai jual akan bertambah sedikit jika nira aren 10 liter itu diolah menjadi gula semut, karena harga gula semut sedikit di atas gula aren. Kesulitannya adalah, konsumsi gula semut kebanyakan adalah untuk pasaran ekspor.

Petani mau jadi pengekspor gula semut? Siapkan uang setengah goni untuk mengurus izin dan segala sesuatunya.

Bagaimana jika diolah menjadi bio ethanol atau pun methanol fuel grade?

Satu liter bio ethanol atau methanol didapat dari mengolah 10 liter nira aren. Jika diasumsikan untuk bahan bakar, maka paling tinggi harga jualnya adalah setara dengan Pertamax Plus, yakni sekitar Rp.9.300/liter.

Dari perbandingan di atas, tanpa perlu lagi menghitung biaya operasional, maka diketahui adalah nyaris tidak mungkin bagi petani Indonesia untuk bermimpi mengolah nira arennya menjadi bio ethanol atau pun menjadi methanol. Selain harga destilatornya yang relatif mahal, harga jual produknya pun adalah yang paling murah.

Harga bio ethanol atau methanol sebagai bahan bakar hanya akan ada harapan membaik ketika bahan bakar fosil sudah tiada. Dan itu masih sekitar 25-35 tahun lagi.

Karena itulah, sebagian besar petani penyadap aren kita saat ini masih bergumul dengan tungku masak gula aren.

“Biarpun hasilnya lebih sedikit dibandingkan dengan membuat tuak, yang penting halal.” Setidaknya demikianlah yang dikatakan oleh Pak Bahtiar Sinaga, saat penulis temani memasak nira aren hasil sadapannya.

Hari itu Pak Bahtiar memasak 35 liter nira hasil sadapan dari 5 pohon aren miliknya. Ketika proses memasak selesai dan hasilnya ditimbang, didapat 5,1 kg gula aren asli kwalitas terbaik.Dari menjual 5 kilogram gula aren itulah Pak Bahtiar menghidupi istri dan anak-anaknya.

Aren di daerah kami memang terkenal tinggi rendemennya. Tetapi air niranya cenderung sedikit. Itu bagus, karena tak membutuhkan terlalu banyak bahan bakar untuk mengolah niranya menjadi gula aren.

Beda halnya dengan pembuat tuak. Karena niranya sedikit itu, biasanya mereka mencampur tuak yang sudah jadi dengan air leri atau air cucian beras. Lalu ditambah tepung bir. Ada juga yang menambahkan sedikit alkohol 70% pharmacy grade.

Biasalah, tuak oplosan, ciri keserakahan kita.

Eits, nanti dulu! Penulis pernah memergoki seorang agen pengecer tuak yang sengaja mencampur tuak jualannya dengan air sungai yang sedang banjir dan keruh. Bapak gendut itu menciduk air sungai dengan sebuah tempurung kelapa, lalu menuangkannya ke dalam jerigen yang berisi tuak. Dan, terciptalah suatu tuak oplosan super gawat made in sontoloyo.

Pantas saja banyak peminum tuak yang tidak mabuk, tapi malah sakit perut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline