[caption id="attachment_117894" align="aligncenter" width="300" caption="laler yang dijadikan biang kerok (http://img181.imageshack.us/img181/7268/laler8lq4.jpg)"][/caption] Lalat, atau laler bahasa Betawinya, merupakan makhluk yang menyebalkan. Terutama pada saat panas dan gerah dia ngeng-ngengan di dekat telinga. Yang paling menyebalkan lagi, pas mau minum teh yang sudah ditinggalin di atas meja biar adem, ehhh...tahu-tahu ada makhluk tersebut ...geregetan dech rasanya?? Buangsat kamu....ngedumel...!!! Sabar dulu Bang....kata si laler, emangnya dose aye apa??? Membaca komentar para Kompasianer di seputar masalah agama, seperti Kompasianer Mukti Ali tulis, wabil khusus Kompasianer Bella Shinta dan kawan-kawan di satu pihak dengan Kompasianer 'Anto Asal Tulis' dan kawan-kawn dipihak lain, nampaknya saya jadi tergugah juga untuk menuliskan topik seputar memahami beberapa aspek yang dalam kajian keislaman, kajian Fikih namanya. Sebagai produk hukum, fikih selalu bergerak dan berkembang serta bisa juga berubah sesuai dengan perubahan masa dan tempat, demikian selalu dikatakatan oleh ulama fikih modern macam Prof. Dr. Sheikh Yusuf Qaradhawi. Jadi, dalam agama Islam ada hal yang bersifat 'qath'i namanya. Ini patent dan tidak berubah; sedangkan ada juga hal yang bersifat 'zanny', dan hal ini berubah. Dalam memahmi persoalan fikih juga harus difahami bahwa apa yang diungkapkan dalam kjaian tersebut juga sebagai batas 'minimal'. Artinya bukan itu 'substansinya'. Contohnya, di dalam fikih disebutkan bahwa dibolehkan berwudhu dengan air sungai, yang disitu ada tinja (tai) dan dikencingin manusia di hulu, dsb, selama air itu tidak berubah warna dan baunya. Itu boleh dipakai untuk berwudhu. ( Eih..zijay ....) Bukan begitu pemahamannya. Yang harus difahami substansinya adalah untuk berwudhu itu ya air yang paling bersih, paling bening, dst. Apalagi mau menghadap Tuhan, kan pasti harus dalam keadaan jiwa yang tenang, jernih, bening, dst. Dan itu hanya bisa terjadi bila wudhunya menggunakan yang bening, jernih, dsb, seperti air kolam renang, air mata air, dst. Nah..gimana memahami persoalan kok wudhu dibolehkan pake air sungai yang ada tainya itu. Itu batas minimal. Bila air benaning tidak ada, apa boleh buat.....Nah 'apa boleh buat' itu yang namanya 'minimal'. Faham kan...??? Nah, begitupun dalam memahami kasus 'laler' kecebur atau kecemplung di gelas teh. Kok jadi diributkan, pake bilang 'makan aja tuh lalat', dsb, yang seolah-olah menjurus pada caci maki dan mendiskreditkan agama. Saling menyerang agama lain, dan bahkan menjurus saling menghujat. Hal ini jelas tidak dibenarkan; dan juga sebagai produk dari ketidakfahaman serta kekurang wawasan dan bacaan. Jadi, bagaimana menghadapi kasus macem laler kecemplung itu..??? yah...dibuang aja air tersebut. Kok susah banget.....kalau memang terpaksa mau diminum juga, karena gak ada teh di gelas, dan mau tunggu bikin teh lagi ....lama...yah minum saja... Selesai perkara. Karena meminum teh yang kecemplung lalat itu sebagai 'miminal'. Idealnya dibuang...beres urusan. (Nabi bukan seorang dokter dan dunia kedokteran pada jaman itu masih kuno, masih menggunakan bahan-bahan yang ada masa itu). Islam kan sudah menganjurkan untuk bertanya pada ahlinya. Dunia kedokteran yah tanya kepada dokter, dsb). Nah, jadi seharusnya pemahaman persoalan-persoalan fikih itu harus - sebagaimana yang saya katakan - adalah bentuk 'minimal'. Sedangkan pesan inti dari fikih tadi adalah 'yang idelanya' yang harus kita lakukan. Semoga tercerahkan......amien....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H