Lihat ke Halaman Asli

Bang Nasr

Nasruddin Latief

Warga Emirat Mulai Gerah...!!!

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_106108" align="aligncenter" width="300" caption="Masyarakat Uni Arab Emirat (google)"][/caption] Uni Arab Emirat dengan Keamirannya, seperti Dubai, Abu Dhabi, Sarjah,Fujairah, Umm Qazwein, dll sudah ngetop banget, apalagi Dubai sudah menyalip ibu kota Abu Dhabi dengan berbagai proyek raksasa dan pencakar langitnya, seperti Burj Khalifah yang tertinggi di dunia, ada kota 'surgawi' al-Mashdar, ada Madinat zayed, dsb. Kemajuan ekonomi dan pembangunan urban di UAE tersebut menjadi lampion bagi laron-laron dari berbagai negara di lima benua yang ingin menikmati kue kemajuan dan kemudahan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah UAE, sehingga warga asing, baik dari Eropa, Arab Afrika Utara, Keling (India, Pakistan, Bangladesh dan Srilanka), Afghanistan, dsb, tak terkecuali juga dari Indonesia, termasuk Kompasianer Bang Mukti Ali (heheheeee...) memenuhi gang dan lorong sudut kota di UAE. Tapi meningkatnya warga asing ini juga menimbulkan persoalan sosial-kemasyarakatan bagi warga UAE sendiri. Kebebasan yang biasa dilakukan di negeri asalnya bagi pendatang dari Eropa, misalnya mau diterapkan hal sama di UAE, yang menurut adat dan norma Timur sudah kebablasan. Salah satu contoh, misalnya belum lama ini dua orang warga Inggris di DUbai terkena hukuman penjara selama 1 bulan karena melakukan ciuman di sebuah restoran (tempat umum). Seorang keluarga UAE juga komplain karena anak-anaknya yang masih kecil melihat perbuatan kedua orang Inggris tersebut yang menurut mereka sudah keterlaluan dan kelewat batas. (Kalau mau gituan di rumah aja...). Di Keamiran Dubai, misalnya warga UAE tinggal di kawasan tertentu yang tetap memegang teguh tradisi Arab dan Islam agar tidak terpengaruh dengan budaya asing yang dibawa oleh warga pendatang. Dr. Ibtisam Kutbi, dosen Ilmu Sosial di Universitas Emirat mengingatkan (bahkan memperingatkan) bahwa kita (penduduk UAE) menjadi minoritas. Ini Fakta. Bukannya saya anti ketersinambungan antar peradaban. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pada tahun 1968, ketika minyak belum menjadi primadona negara Sheikh Khalifah bin Zayed itu, para pendatang hanya 38 % dari penduduk UAE. Akan tetapi saat ini sudah melampaui penduduk UAE yaitu sebesar 83.5 % dari total penduduk UAE yang cuma 5 juta jiwa. Penduduk UAE hanya tinggal 16.5 % saja, hal ini berdasarkan keterangan pejabat resmi UAE, begitu kilah Dr. Ibtisam. Di Keamiran Dubai yang berpenduduk hanya 1 juta jiwa, penduduk UAE-nya cuma 1 % saja, sisanya warga dan pendatang asing, termasuk Bang Mukti Ali yah...heheheee...Hal ini berdasarkan keterangan Penulis Inggris, Crhist Davidson yang menulis buku tentang Dubai. Begitu juga, masih menurut Dr. Ibtisam bahwa bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa utama, digantikan oleh bahasa asing lainnya. Dampak lain dari fenomena ini adalah maraknya narkoba dan perilaku  'aneh' menurut ukuran masyarakat kami. Ada ketakutan tindak kriminal dan meningkatnya kejahatan yang dilakukan oleh warga asing. Kami merasa dikepung oleh mereka dan kami khawatir akan masa depan anak-anak kami, sehingga keluarga UAE merasa cemas. Kalau dulu, minuman keras hanya terbatas di tempat-tempat tertentu, sekarang sudah nampak bebas di mana-mana. Kehidupan di UAE, terutama di Dubai tidak beda dengan kehidupan di kota-kota liberal di Eropa dimana kehidupan malam dengan alkohol dan para ceweknya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Akademisi Emirat, Abdul Khalik Abdullah. Bahkan Kepala Kepolisian Dubai, Brigjen Polisi Dhahi Khalfan sudah mengingatkan bahwa sejak tahun 2008 merupakan tahun 'genderang bahaya' berkenaan adanya tumpleknya penumpukan warga asing yang tidak dapat menjadi warga UAE. Lebih jauh Khalfan mengeluhkan bahwa 'Para Sheikh membangun UAE, tapi juga kami kehilangan UAE'. Warga UAE sudah mulai gerah....bukan kepanasan, - seperti di Jakarta yang bagi warga kelas kere tidak mampumembeli ac dan juga tidak dapat membayar listriknya, - tapi gerah karena fenomena sosial yang mengkhawatirkan kultur dan budaya mereka yang tergerus kena 'rob' (air bah laut) budaya asing ke negara tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline