Lihat ke Halaman Asli

Abdullah Muzi Marpaung

Seorang pejalan kaki

Diam, Diamlah Hati

Diperbarui: 22 Januari 2022   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Diam, diamlah hati. Jangan risau lagi. Air yang telah ke hilir, tak akan lagi ke hulu. Kecuali bila ia menguap, jadi mendung, lalu hujan. Dan hujan, adalah rahasia yang rapat disimpan oleh sang penjaga alam.


Cinta yang terlanjur ada, tak akan pernah menjadi tak ada. Ia hanya pergi ke lain waktu. Ia hanya tak lagi untuk kita. Tetapi hangatnya masih sesekali membelai mesra. Kadang-kadang ia lembut menyapa melalui puisi yang dibacakan, melalui cerita yang kita baca diam-diam saat sepi merendam waktu.


Tenteram, tenteramlah jiwa. Jangan lagi menyimpan luka. Tak ada yang akan tumbuh di atasnya. Kecuali sebentuk luka yang baru lagi.
Hari yang kemarin, tak akan pernah menjadi tak ada. Ia hanya semakin menjauh, memburam, semakin buram. Tetapi kisahnya mungkin masih sesekali ingin kita obrolkan. Terutama ketika aroma tanah yang basah menguap ke udara, dan angin membawanya kepada kita. Lalu yang buram itu menjadi sedikit terang sekejap, hanya untuk membawakan kepada kita sekeping bahagia. Bahagia yang berbeda.


Diam, diamlah hati. Jangan gundah lagi. Hidup adalah batu yang terkikis waktu, lalu berakhir sebagai debu. Sama kita menunggu, debu-debu itu mengendap pada suatu musim yang tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline