Lihat ke Halaman Asli

Abdullah Muzi Marpaung

Seorang pejalan kaki

Tentang "Hujan Bulan Desember"

Diperbarui: 1 Januari 2021   04:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dalam buku 'Bilang Begini, Maksudnya Begitu' (2014) Almarhum Sapardi Djoko Damono menulis  tentang 'tabiat' penyair yang suka bermain-main dengan kata-kata. Apa yang ditulis, tidaklah itu maknanya. Gerimis tak selalu berarti hujan, bunga belum tentu bermakna kembang.

Oleh karena itu, sering satu puisi diinterpretasikan macam-macam oleh para pembaca. Bahkan puisi Sapardi yang paling populer, 'Aku Ingin', sering diartikan sebagai puisi cinta sehingga kerap dikutip dalam undangan resepsi pernikahan. Padahal, bukan. Begitulah menurut pengakuan Sapardi, salah seorang penyair kesukaan saya.

Akan tetapi, perkara ini bukanlah menjadi soal. Justru di sinilah letak kelenturan dan keindahan puisi. Beberapa hari lalu saya membagi satu puisi, 'Hujan Bulan Desember', pada berbagai kanal media. Saya sertakan pada akhir dari tulisan ini.

Sebagian besar pembaca menyangka bahwa puisi ini bertutur tentang cinta seorang lelaki (aku) kepada seorang perempuan (kau) yang dicintainya, tapi tak berani diungkapkannya. Waktu terus berlalu, dan sang lelaki terus berada di dalam keragu-raguan. Pada akhir puisi ia masih bertanya, "apakah kini aku berani menjemputmu/cinta sejatiku?"

Puisi ini saya tulis tidak dalam maksud begitu. Puisi ini sesungguhnya adalah monolog: sang aku sedang berbicara dengan dirinya sendiri, dengan kata hatinya. Jauh di masa lalunya sang aku sudah berkeinginan untuk hidup sesuai kata hatinya. Urusan-urusan 'dunia' semacam harta, jabatan, kekuasaan, popularitas bukan menjadi pertimbangan.

Akan tetapi rumit dan pahitnya hidup membuatnya tak sanggup. Ia merasa perlu berkompromi, bersiasat, ikut dalam pragmatisme, kadang kala juga tipu muslihat. Lama ia 'menghalau' kata hatinya di kejauhan,menggigil dan gemetar di bawah hujan, sehingga mantelnya tipis dan kusam. 

Sesekali ada rasa sesak dalam dirinya yang membuatnya rindu dengan sang kata hati, dan ingin membawanya pulang. Akan tetapi ia selalu saja merasa tak kuasa, takut.

Persoalan dengan kata hati ini adalah persoalan yang umum terjadi pada banyak orang. Tentu dalam bentuk yang macam-macam dan mungkin dalam takaran yang tak seragam. Ada yang berat dan ada yang ringan. Saya pun demikian. Hingga usia lebih dari setengah abad ini, masih ada kepingan kata hati yang tak lengkap saya pasang dalam bingkai kehidupan saya.

Masih ada beberapa hal yang ingin saya begini, tapi pertimbangan 'duniawi' malah membuat saya begitu. Nanti dululah. Besoklah saya tak lagi begitu. Atau minggu depan, bulan depan, tahun depan. Sementara sebagian besar potensi diri: waktu, usia, kesehatan malah semakin lemah. Dan sang kata hati semakin buram di kejauhan.

Pada Desember di ujung tahun ini, hujan yang sesungguhnya biasa saja, tiba-tiba mengingatkan sang aku pada janjinya ke diri sendiri. Yaitu untuk kembali kepada hidup yang sesuai kata hatinya. Apakah kali ini sang aku akan berani, atau ia akan menanti lagi hujan pada desember tahun depan?

Ya, banyak orang membuat resolusi hanya untuk diperbarui lagi. Nanti, dan nanti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline