Lihat ke Halaman Asli

Abdullah Muzi Marpaung

Seorang pejalan kaki

Kedai Kopi, pada Satu Pagi

Diperbarui: 19 Desember 2020   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuputuskan untuk memperhatikan perempuan itu. Ia memang menarik perhatian. Seorang perempuan, sendirian, sarapan di kedai kopi ini adalah peristiwa langka. Biasanya hanya lelaki, keluarga atau perempuan dengan pasangannya yang datang ke kedai yang selalu ramai ini.

Perempuan itu tenggelam dalam buku yang dibacanya. Sesekali dihirupnya minuman dari cangkir, entah kopi entah teh susu. Atau dikunyahnya sepotong kecil roti bakar. Ia tampak tak sedang terburu-buru dan seperti hendak berlama-lama menikmati kesendiriannya pada pagi yang menghangatkan Kijang. Sama sekali ia tak merasa terganggu dengan lalu lalang obrolan pengunjung lain.

Wajahnya taklah cantik sangat. Tetapi seperti ada yang menjeratku dalam air mukanya, caranya mengangkat cangkir, menggigit roti, atau membalik halaman buku. Entah karena aku terbawa oleh khayalanku sendiri atau memang demikian adanya, aku seperti dapat menangkap kepedihan, keteduhan, juga kedamaian dalam gerak-geriknya.

Semula aku mengira ia seorang pelancong. Melihat baju kurung yang dikenakannya, apakah ia dari negeri tetangga yang masih sama Melayu juga? Kedai kopi ini memang sangat terkenal. Sejarahnya panjang. Di sinilah para ayah kami dulu berbual selepas kerja di tambang bauksit. Di sinilah tempat banyak hal dipergunjingkan, dari yang kecil hingga perkara pergantian direksi perusahaan. Sering pelancong datang untuk minum kopi dan menikmati aroma masa lalu. Cangkir kopi yang dihidangkan adalah cangkir yang sama dengan yang ayah kami hirup dahulu. Tapi semakin lama kuperhatikan perempuan itu, aku seperti mengenalnya.

Aku berdebar. Ya, aku seperti mengenalnya. Entah bila, entah di mana. Aku semakin berdebar, ketika tertangkap olehku bahwa perempuan itu ada beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Mungkin ia merasa aku tak henti memperhatikannya, maka diam-diam dia balas memperhatikanku. Atau ia memang mengenalku?

Keras aku berpikir. Tetapi kembara kenanganku malah tersesat pada Maryam, kekasihku, yang seharusnya menjadi istriku.  Apa hendak dikata, Maryam terpikat lelaki lain. Ialah seorang insinyur muda yang baru datang dari tambang lain. Walau terluka sangat, aku mengalah. Kalau sudah tak senang, apa yang mesti dipertahankan?

Jelas perempuan itu bukanlah Maryam. Siapa dia? Kalau benar aku mengenalnya, mengapa aku tak dapat mengingatnya? Mengapa ujung ingatanku selalu hanya sampai kepada Maryam? Apakah karena belum sepenuh hati aku dapat melepas Maryam? Separuh hatiku masih terpukau kepada Maryam dan berharap keajaiban terjadi? Tapi mengapa perempuan di kedai itu kian lama kian menarik perhatianku?

Pagi semakin tinggi. Kedai mulai sepi. Perempuan itu masih membaca. Kukuatkan tekad untuk menghampirinya. Aku tak tahan.

Merasa ada seseorang yang mendekatinya, perempuan itu tengadah. Tatapan matanya indah, tapi salah tingkah. Ah, mata itu. Aku merasa dekat dengannya.

"Maaf, encik," tanyaku hati-hati.

Ia sedikit memiringkan kepalanya. Ada senyum tipis. Tapi tak ada kata-kata. Aku menganggap bahwa ia tidak terganggu dengan kehadiranku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline