Lihat ke Halaman Asli

Firdaus Ramadhan

Professional garbagepreneur.

1, 2, 3... Sayang Semuanya!

Diperbarui: 9 Februari 2024   04:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Voting pada zaman Yunani Kuno. Sumber: cam.ac.uk

Ketika banyak sekali buzzer-buzzer berseliweran di media sosial, saya cukup bingung dengan siapa yang nantinya saya pilih. Melihat banyaknya banner politik di jalan, konten media sosial penuh dengan hasil debat, meme bahkan potongan podcast orang-orang berdebat masalah pilihannya, membuat kecapekan saya terhadap politik memuncak. Selain karena tidak ada yang menurut saya dari ketiganya meyakinkan saya, juga dibingungkan dengan kombinasi-kombinasi aneh dari pihak-pihak yang mencalonkan. Jangankan calon Presiden dan Wakil Presiden, bahkan sekelas legislatif saja saya juga tidak tahu mau mendukung siapa atau partai siapa.

Sebenarnya, semangat politik saya ada sejak 2014 silam, dimana semangat berpolitik saya yang waktu itu baru memasuki awal usia 20-an masih semangat-semangatnya untuk ikut serta dalam pesta demokrasi. Bahkan saya siap dan tahu siapa pilihan saya, namun kemudian ketika pilihan saya gagal menang, saya justru ya... kecewa. Namun siapa sangka, pilihan saya toh akhirnya juga menjabat di Pemerintahan beberapa saat kemudian. Akhirnya muncul pertanyaan di kepala saya, apakah cukup worth it untuk memilih dan menggunakan hak suara saya mendatang? Apalagi mendukung dengan penuh semangat seperti sedia kala?

Sekarang saya sudah di ujung umur 20 tahun dengan kelelahan yang sudah menjadi-jadi karena janji yang tak kunjung ditepati, harga sembako dan bahan bakar yang tinggi, serta pemasukan yang sering kali tidak seimbang dengan pengeluaran yang terjadi.

Lalu, isenglah saya berceletuk diantara teman-teman saya entah ketika sedang mengopi bersama, atau memecah suasana ketika ada pertanyaan mengenai pesta politik tahun ini.

"Saya kayaknya golput aja deh, bingung!" ujar saya kadang berbeda nada. Beberapa teman ada yang mengangguk, beberapa menggelengkan kepala, bahkan ada yang bilang "Jangan, nanti suaramu dipakai orang jahat!"

Seringkali saya memandang remeh ungkapan 'dipakai orang jahat' tersebut. Orang jahat? Memakai suara saya? Jika kita bedah, jahat adalah kata yang cukup kuat. Maksud saya, pun ketika saya menggunakan suara saya kepada orang yang salah, bukankah dia juga orang yang jahat menggunakan suara saya (orang yang baik ini)?

Lalu tak lama beberapa teman ada yang menghubungi saya. Ada yang mengajak untuk menjadi anggota relawan salah satu DPRD di kota saya. Ada juga yang mengajak saya mempromosikan dia karena katanya masih ada ikatan 'saudara'---sudah seperti bagaimana seorang pebisnis MLM bertemu teman lama. Pilihan saya? Tetap sama, tidak menanggapi keduanya. Bahkan, ketidak ikut sertaan saya sendiri pada gelora kampanye partai-parta politik ini dinodai dengan bagaimana ibu saya sebagai ketua ranting salah satu partai di kota saya---sebuah partai kecil yang saya sendiri melihatnya tidak mungkin bisa menembus nasional, menggunakan KTP saya tanpa izin untuk didaftarkan sebagai salah satu simpatisan partai tersebut. Kalau saja saya bisa mengirim video kajian ke ibu saya mengenai orang tua yang durhaka...

Saya merindukan bagaimana Luber Jurdil (singkatan dari Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil) yang dari dulu di SD hingga SMA selalu dicetak tebal di kepala kami. Istilah yang merujuk pada prinsip-prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam proses pemilihan umum (pemilu) di negara Indonesia ini sudah seperti tidak diindahkan kembali. Padahal, istilah tersebut merupakan bagaimana seharusnya kami---golputers, menentukan pilihan, apalagi dengan salah satu kata yakni 'Rahasia', yang kini saya sangat mensucikan kata tersebut karena yang tahu siapa yang akan saya pilih itu hanya saya dan Tuhan semata. Namun karena pengumpulan KTP ini, seolah-olah saya sekarang terdaftar secara terang-terangan sebagai pendukung partai yang tidak saya kehendaki.

Memang menyebalkan di periode politik seperti ini, di halaman Twitter---atau X sekarang, sering dijumpai anak dimusuhi orang tua kandungnya hanya karena tidak senada pilihan mereka, ada yang sampai dibully di kolom komentar, dicaci maki dan lain-lain. Melihat semua itulah yang menggugah lelah saya berkecimpung hingga akhirnya saya tidak mengikuti apapun dari paslon-paslon maupun kampanye partai yang ada.

Karena lelah tersebut dan supaya saya tidak diganggu lagi dengan hasutan politik, maka jika ada pertanyaan tersebut saya selalu menjawab:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline