Lihat ke Halaman Asli

Komarudin Ibnu Mikam

Founder Sekolah Alam Prasasti Bekasi

Sekolah Alam Prasasti, Merawat Mimpi Bocah Kampung

Diperbarui: 23 Januari 2022   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Adalah pasangan Komar-Ulfah. Komarudin Ibnu Mikam, lengkapnya. Penggiat dan pencinta Budaya. Kini diamanahi sebagai Sekretaris Dewan Kebudayaan Daerah Kab Bekasi. Bersama sang Istri, Mariyah Ulfah yang mantan aktivis HMI. Ia pernah menjadi Panwas Pemilu Kecamatan Setu.

Pasangan ini unik. Orang lain berpindah dari desa ke kota. Komar-Ulfah, berpindah dari Kota ke Kampung nan sepi. Demi mengabdikan diri. Mendirikan lembaga pendidikan gratis bagi warga yang tidak mampu.

Sebelumnya, Komar yang sehari-hari dipanggil Abah Komar, menghubungi beberapa kawan. Mengajak berjuang bersama. Awalnya agak sulit mendapatkan Team Pengajar yang mau mendidik di situ. Lokasinya jauh di pelosok. Jalanan tanpa coran. Hanya tanah. Bila musim hujan. Jalanan pun penuh dengan air. Seperti berjalan di sungai. Padahal di sebelahnya Kali Piket. Namun seiring waktu, alhamdulillah ternyata banyak juga anak muda yang mau membaktikan diri. Saat ini tercatat ada 21 orang.

Dengan konsekwensi, menurunkan derajat persyaratan. Tak perlu Strata 1. Tak perlu ijazah. Yang terpenting punya kemauan dan tekad untuk mengajar.  Berdedikasi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) pun didirikan. Saung pertama menjadi tempat kumpul. Selebihnya anak-anak belajar di bawah puun sukun. Di pinggir kali. Di pinggir sawah. Di mana-mana. Karena Semesta adalah kelas mereka.

Berbarengan dengan itu, Pendidikan Usia Dini Quran juga didirikan. Waktu itu namanya TK Teratai Bangsa. Dengan siswa 8 orang. Siti Rohajah dipercaya menjadi Kepala Sekolah. Walau hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bermodalkan pengalaman mengajar. Ia dipercaya menjadi Kepala Sekolah.

Karena kekurangan guru. Waktu itu ada seorang pengajar yang sekaligus penyanyi dangdut. Paradoks memang. Saat mengajar ia memakai kerudung. Rapih. Tertutup. Pas aja jadi penyangi dangdut, pakaiannya gitu dah. Serba ketat. Ala-ala penyanyi dangdut kampung.  Seiring waktu berjalan akhirnya, penyanyi dangdut yang guru TK pun mengundurkan diri.

Tahun 2018,berdiri SMA, diikuti SMP, dan terakhir Sekolah Dasar (SD). Untuk yang jauh-jauh, disediakan program Lumbung Tahfidz. Pondok Pesantren khusus menghafal qur'an. Karena keterbatasan, semua jenjang itu menginduk ke beberapa sekolah. Murah karena tidak perlu membangun Bangunan Sekolah dengan banku meja seperti lazimnya. Sekolah Alam bisa belajar di saung-saung atau di alam terbuka.

Murah, karena siswa tidak wajib memakai baju seragam. Orang tua yang kebanyakan kalangan bawah. Para kuli tani, kuli harian, pekerja serabutan, tukang kangkung, tidak perlu merogoh kocek untuk beli seragam. Gak poerlu beli sepatu pula. Sekolah pake sendal jepit pun jadi. Yang penting belajar.

Sekolah Alam fleksibel. Misalnya, bagi anak-anak smp dam SMA. Bisa izin Tidak sekolah. Bila harus membantu orang tuanya. Nyabut kangkung, kuli di sawah. Atau, kuli motong padi.

Siswa juga tidak wajib beli LKS atau buku-buku pelajaran. Karena sumber belajar bisa dari alam. Mengenla biota sungai. Belajar matematika dari jumlah daun singkong. Dan lain sebagainya. Belajar kreativitas dengan menggunakan gedebong pisang atau yang lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline