Lihat ke Halaman Asli

Pengatar Puisi Anakku Terbilang

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dari tumpukan berkas di atas meja sahabatku, Barry B. Hirah, terselip dua lembar kertas ber-print out bait-bait puisi. Setelah kurapal habis, pikiran lagi-lagi terpaku. Siapa dia sebenarnya? kenalku sebatas lingkungan pergerakan. Dia pendatang baru, luwes, karismatik, eksentrik, rada geeran, dan cepat diterima. Tak butuh waktu lama dinobatkan menjadi jenderal lapangan.

Ketika mengikuti pelatihan bersama dulu - semacam simulasi - aku pernah menghadiahkan dua tamparan. Perintah Instruktur harus keras.

“Plak.” Terdengar setengah niat.

“Terlalu pelan, kamu. Bayangkan di barisan terdepan. Kamu itu tentara yang diolok-olok mahasiswa. Benar-benar mendidih. Muka merah seperti udang rebus!” Instruktur kami marah.

“Pluuuuuuuuuak.” Tidak ada ampun lagi. Kulihat mata dan pipi kirinya merah. Berhasil.

Duh, untunglah tidak terkapar. Atau sensitif seperti anak-anak tanggung yang bangga dengan kedinasan ayahnya di kompleks rumah tentara kalau dihardik secuil kuku. Pelatihan ini memermak mental. Tidak kuat gugur, tidak mampu mundur

Kondrad iseng-iseng merekomendasi. Dia bara yang mampu merangkul spirit kita di lapangan. Instruktur bahkan mengamanatkan nama Hirah. Hitam laksana urat kuarsa abadi di celah sesang. Dan merah di bara menyala. Nama yang mirip dengan namaku, Bara’.

Kini Hirah tidur-tiduran di kamar hotel para bintang penghuni Lapas. Kebetulan saja nasibmu kawan. Mungkin saja giliranku menanti di aksi berikut. Ingatanku sekarang terbenam ke kisah seorang pujangga Romawi. Prinsipnya kemilau matahari. Pujangga tidak perlu tahu detail apa yang terjadi dengan karya-karyanya dan siap menerima akibat. Semua apresiasi bagai jubah kebesaran figuran. Ia tidak memilih bahan kain apapun, tekstur bermotif apapun, atau mengupah perancang termahal. Karyanya sendiri lentera yang berbicara banyak di lembaran ruang kerja penyair atau di pentas-pentas sastra. Ia berada di luar jangkauan setelah tulisannya dibaca orang lain. Semakin purba semakin dicari semakin menginspirasi semakin bersinar sepanjang masa.

Kaisar membuangsang Pujangga ini. Ovid* tua terasing di pinggiran Laut Hitam. Sebelum karya terakhir rampung, hayat Ovid berlalu. Bukti menulis tiada terkekang takdir yang hadir sesuka-sukanya.

Aku pernah mendengar kisah wanita penulis tanah air.** Hanya karena di dalam cerpennya mengangkat satu kasus yang ditabukan pihak tertentu, ia menerima ancaman pembunuhan.

Yah, penulis-penulis demikian sejatinya tidak melepas diri dari keberpihakan, harapan, dan idealisme. Meski tekanan mencengkeram, karpet tebal selalu tersedia menyambut para penulis yang terpanggil membumikan karya-karya pencerahan. Ada penyatuan jiwa dan tubuh di antara kepekaan dan makna hakiki yang diperjuangkan bersama. Jika salah satunya terpisah, tubuh itu mati. Tubuh yang utuh akan mati hanya karena takdir. Namun jiwanya absolut bernama inspirasi. Satu determinasi telah berada di sendi-sendi peradaban.

Bagaimanakah geliat nasip mereka esok hari? Tuhan saja yang tahu. Sebab halaman sejarah tidak berbicara kecuali perubahan itu sendiri. Penulis akan merefleksi diri. Apakah tema-tema yang diusung tereksploitasi hanya demi kepentingan lain atau konsisten fokus. Kemurnian mempertanya karpet tebal yang memperkuda perubahan. Ah, tepuk jidat dulu.

Kunci kamar kos Sobatku sengaja dititipkan. Maklum anak gaul. Senang dengan proyek rahasia. Baru saja lulus kuliah, eh, langsung nikah. Ha-ha. Daripada perut besar calon istri tergosip tetangga.

Sayang sekali, Hirah kehilangan momen menjadi saksi kelahiran anaknya. Penasaran yang tiada terbendung lagi sesegera mungkin menimang-nimang buah hati. Karena itulah nasibnya menguliahi,

“Biar terdekam sebentar di kolek kecil. Tenang-tenang mendayung dan hanyut berpikir. Yang penting nggak lari maraton di jalanan lagi. Estafet saja. Karena kebahagiaan keluaga menantimu setelah keluar. Barang beberapa hari makin cantiklah barang itu. Bahagia atau ‘terpenjara’ lagi dalam bahtera kehidupan baru? sama saja. Yang beda hanya ukuran luas tempat tidur. Aku tetap skenariomu.”

Sesuai permintaan rahasia, beberapa file yang menyilaukan mata rada berkonser merem-merem melek di-delete dulu. Sekalian data-data pergerakan. Sekarang tuntas . Lain kali hati-hati, Sob. Data mudah dicomot penunggu menara.

Puisimu dipublikasikan saja. Kukonfirmasi dulu. Konteks sosial pas, apa adanya, imajinasi berserakan, tapi cukup satir. Puisi tentulah bukan notulen atau hasil wawancara sebagaimana persis proses langsung jadi makanan cepat saji. Setidaknya khas. Lalu relakan penikmat menjadi hakim dan jaksa. Terkadang lumrah yang terhakimi justru berakar dan berimpak sama di hening belantara puisi berniscaya makna milik sang pembaca.

Meskipun realitas memusuhi ingin, renunganku menangkap nuansa ketegaran. Nyata berat memikul beban yang membekas pekat kelam. Melepas dendam dan kejaran dosa tidaklah semudah mengalirkan aksara. Kita harus pundakkan tantangan bersejarah dengan jiwa besar. Puisi pribadi membantu pengungkapan suasana hati. Sekedar meringankan dalam pelepasan.

Saat tangan kanan meraih mimpi. Tangan kiri meminta pelepasan. Kedua kaki berjalan di atas seutas tali. Keseimbangan menanti pengorbanan.Keiklasan tidaklah mensyaratkan kepala berpaling ke belakang. Atau tertunduk ke bawah meratapi bayang-bayang. Apapun situasi yang terjadi di depan nanti, tanggung jawab dan tujuan tidak meminta langkah terhenti. Hadapi.

Aku sendiri tidak lebih baik dari perkiraanmu. Jika memang keras membentur dan percuma, menganggap masalah teman baik itu lebih menyenangkan. Karena sentuhan sunyi kadang kala menggenapi. Puisi dan saling percaya selama ini menyampaikan sinyal kuat melalui diammu.Engkau satu saudaraku satu kata dalam satu perjuangan.***

Bersambung ke puisi.

Keterangan :

*)Diketahui (awam) Ovid adalah nama panggilan dari Publisius Ovidius Naso. Salah satu referensi dari tulisan Dr.Tri Budhi Sastrio.

**)Pesan tertulis dari Putu Wijaya. “Helvy, menulis adalah berjuang.” Lalu ia berkata (potongan) kepada guru bahasanya. “Menulis itu perjuangan yang menyenangkan.” Salut.

***) Terinspirasi dari “Satu zat satu urat”. Frasa Chairil Anwar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline