Gemuruh di dada, seia sekata
derap kaki-kaki melangkah
adakah nyawamu, juga nyawaku? .........Wahai engkau, di bilik bungker
lama kawat-kawat berduri, angker
adakah, sangarmu juga, sejarahku? .........Tangis ayah ibu mereka, kering-kering
ratapan aktivis perubahan, debu jalanan
adakah dengan rechstaat
haruslah jalan itu mengental, memerah? ........Kemanusiaan kita
muntahan beraroma
kebohongan demi kebohonganmu
terseduh nyawa-nyawa
serasa benar-benar segar, engkau minum
Sekarang tanyalah siapa
mayat-mayat itu siapa bagi kita?
adalah, perih dahagamu membungkam, ..........Silahkan berbisik-bisik
tertawa lepas di raga mereka*
dan lihat di sana
ada sisa mulut muliamu
di meja langit tirani
ada sisa ayat-ayat tangan besi
bendera kita bertanya ;
adakah, limbah hitam kotori orasi
dari air ludah, kejujuranmu? ..........Wahai engkau
apa hiraumu?
sampai berabad-abad nanti
bendera itu setengah tiang Saudara
berkibar-kibar, dengan goresan tinta emas
adalah nyata bertanya di atas lembaran sejarah,Negeriku negerimu satu, suara menggelegar ikrar sejiwa
Tapi mengapa bagimu Indonesia, mereka bukan milik kita*)Korban tragedi Semanggi, alm.Munir Said Thalib,
juga korban Penghilangan Paksa sahabat aktivis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H