Lihat ke Halaman Asli

Korupsi dan Pembangunan Karakter Bangsa

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Soebandrio berkata, "prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain". Maka Operasi Bhudi untuk berantas korupsi jaman Soekarno dihentikan. Umurnya hanya 3 bulan (kutipan Republika).

Jaman Soeharto lebih dalam lagi soal korupsi. Bung Hatta pernah mengatakannya sudah membudaya (orba). Artinya, aparat dan rakyat banyak yang terlibat. Ternyata bukan saja kebocoran, tapi juga terjadi pemborosan (inefisiensi 30% kata Prof.Soemitro). Prof.Soemitro pun diingatkan Soeharto.  Tapi ketika krisis 97/98, mata semakin terbuka. Betapa rapuhnya pembangunan dan mentalitas bangsa. Merubah budaya tak segampang menjatuhkan rezim. Merubah budaya itupun tak segampang membalikkan tangan sampai saat ini. Padahal sudah banyak pemikir dan pengamat memberikan konstribusi. Tapi ide ide yang cemerlang melayang seperti awan. Ada apa?

Embrio lembaga super body anti korupsi (sekarang KPK) lahir di awal reformasi. Tapi ini adalah satu bagian dari penegakan hukum, dan hukum itu adalah satu bagian solusi total memberantas korupsi. Cara pandang pemberantasan korupsi sebenarnya sudah tercermin dari produk UU anti korupsi. Bahwasanya tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Apa yang dimaksud secara luar biasa, jika KPK pun mengalami pelemahan? Belum lagi bicara aspek lain, perbaikan sistem dan mentalitas korupsi.

Sebagai lembaga superbody, syaratnya belum terpenuhi. KPK haruslah bersih dari konflik kepentingan. Lembaga anti korupsi di negara lain bahkan menjadi lembaga polisional yang independen (contoh dekat Singapura dan Malaysia). Maka adalah layak KPK diperkuat dan punya kaki organisasi di daerah daerah, mengingat potensi kerugian negara ternyata sangat besar. Adhocnya KPK harus terkait dengan potensi itu (jika pendekatan ekonomis digunakan). Kaitan lain adalah perubahan sikap permisif masyarakat.

Penindakan korupsi yang terpusat memerlukan keterkaitan yang kuat dan koordinasi yang jelas dengan lembaga lembaga sejenis. Misalnya irjen tiap departemen, BPK, Satgas Mafia Hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan lembaga kehakiman (a.l.Tipikor) atau lembaga negara lainnya. Bila nanti kondisi membaik dan KPK adhocnya dicabut, maka koordinasi pengawasan, pencegahan, tindak anti korupsi, harus tetap terpusat dalam satu lembaga independen yang bebas konflik kepentingan. Dalam tahap ini, efisiensi melalui transparansi di setiap departemen diharapkan sudah menerapkan komputerisasi (pembelajaran dari Thailand). Maka kerja lembaga anti korupsi, koordinasi dan keterkaitannya akan semakin ramping dan efisien. Tapi bila pekerjaan terpisah, masing masing lembaga berjalan sendiri, dan lembaga itu tidak lagi bersih karena mudah terkontaminasi, maka cara pemberantasan korupsi bukan lagi luar biasa. Sebagai counter sistem, lembaga semodel KPK yang permanen dan terkonsentrasi sangat diperlukan. Terbukti, hasil pemeriksaan BPK yang bergerak atas dasar UUD45 (pasal 23 ayat 5), tidak serta merta dipayungi hukum. Tindakan hukum terhadap penyimpangan keuangan negara akan efektif bila keterkaitan dan koordinasi terkonsentrasi dan tidak terpisah pisah.

Penulis memprediksi, tindak korupsi, bayar upeti, uang rokok, suap menyuap dan calo pelayanan publik sudah menjadi fakta kehidupan sehari hari hampir semua warga Indonesia. Didengar, dilihat atau dialami sendiri. Sudah lumrah. Rakyat terdorong permisif, karena wibawa hukum (a.l.petugas hukum) yang lemah. Upaya hukum lambat, mahal dan belum tentu memihak (kepastian hukum). Disinilah arti penting pendampingan (lembaga tandingan). Mau tidak mau harus ada lembaga khusus yang dianggap sebagai polisi anti korupsi, terpisah dari kepolisian itu sendiri sampai ke level bawah pelayanan publik.

KPK, Satgas Mafia Hukum atau lembaga lain yang berkaitan, telah membuka lebar lebar pelaporan (KPK). Tapi rakyat sudah terlanjur trauma dan ikut membudayakannya dalam waktu lama (corruption mentality). Mungkin perubahan butuh satu generasi. Aksi kuratif yang progresif tentu bukan saja kepada pencegahan, kontrol dan perbaikan sistem tersendiri. Tetapi juga aksi yang mendorong perbaikan mentalitas masyarakat melalui pendidikan moral dan pilar nasionalisme dalam semua aspek kehidupan. Kondisi budaya inilah (anti-corruption mentality) yang memperkokoh sistem. Seketatnya apapun sistem adiministrasi negara, akan lebih canggih lagi modus kejahatan korupsi dikemudian hari.

Reformasi birokrasi sangat baik dijalankan. Tapi tidak akan menjadi efektif bila mentalitas tidak diperbaiki dan counter system (polisional) tidak bisa mengimbangi (khusus korupsi). Balancing antar sistem ini penting, karena berfungsi mendisiplinkan. Aparat akan takut dengan sendirinya, jika berani memanfaatkan situasi rakyat yang permisif. Takut jika memanfaatkan ketidaktahuan prosedur dan birokrasi pelayanan masyarakat. Aparat takut dengan pengaduan rakyat. Ada lembaga lain yang bisa bertindak dengan tegas setiap terjadi penyimpangan. Disinilah partisipasi rakyat bisa diaktifkan secara luas (Robert Klitgaard dkk: 2002).
Materi mentalitas sikap antikorupsi ini bisa dimasukan ke pendidikan formal. Salah satu bentuknya adalah deklarasi sikap anti korupsi bangsa Indonesia yang dibacakan setiap acara pengibaran bendera (upacara bendera). Pernyataan sikap ini juga jadi bagian deklarasi mahasiswa akhir bila diwisuda. Pengendapan nilai hidup bersih dan jujur akan terkristal perlahan.

Termasuk untuk pegawai negeri dan swasta lainnya. Deklarasi diucapkan dalam setiap peringatan Hari Kemerdekaan. Semua lembaga pemerintah, organisasi dan perusahaan swasta, atau seluruh elemen bangsa, dalam dan luar negeri. Pakta integritas juga diucapkan oleh semua pejabat baru pegawai negeri (termasuk lembaga pendidikan). Diharapkan pegawai negeri itu membangun keteladanannya bila perannya terkait langsung dengan pihak swasta.

Jalur dan kerja lembaga independen khusus anti korupsi, sosialisasinya jelas dan gamblang, agar sekecil apapun tindak korupsi, suap menyuap, masyarakat tahu kemana harus mengadu. Masyarakat diyakini akan perlindungan hukumnya. Ia adalah pahlawan negara. Maka negara wajib melindungi dan memberikan apresiasi dalam berbagai bentuk. Bentuk apresiasi ini harus dipikirkan, agar tidak timbul lagi sikap apatis.

Jika UU anti korupsi mempertimbangkan bahwa pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa, maka isi penjabaran dan implementasi haruslah konsisten. Jangan lagi keluar kata kata, "prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain". Jika Presiden setengah hati, semua mesin birokrasi dan lembaga negara lainnya berkata sama dan berbuat sama, dan wakil wakil rakyat pun tak berdaya, dimana lagi kepentingan rakyat ditempatkan di negara Republik Indonesia?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline