Lihat ke Halaman Asli

Krisis Yunani, Pelajaran Berharga

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Krisis ekonomi Yunani yang berpotensi melebar luas, ditandai dgn peringkat surat berharganya yang telah menjadi terendah (tak laku). Efek dominonya, pasar saham dan kurs euro melemah, dolar menguat. Dolar menguat, rupiah melemah. IHSG kita terkoreksi.

Bunga SUN kita juga tergantung mekanisme pasar. Artinya, bagaimana pemilik modal menilai, untung atau rugi (gain maksimal), bisa dipercaya atau tidak, prospek kedepan dalam banyak kaitan. Termasuk dari peringkat atau indeks. Maka kinerja pemerintah mengontrol dan mengelola keuangan sangat menentu tingkat bunga SUN.

Obama dan Merkel (kanselir Jerman) menekankan agar Yunani dapat mengontrol utangnya. Merkel mengisyaratkan pengetatan (tight money policy, mirip obat krisis 97/98 kita). Akhirnya, pemerintah Yunani berjanji akan memangkas pengeluaran untuk menurunkan inflasi (sekarang 11% lebih), dan pemotongan gaji pegawai negeri. Tentu dengan persetujuan parlemennya. Ironisnya persetujuan ini diberikan ditengah tengah terjadinya kerusuhan. Pendemo menolak penghematan. Tapi parlemen tampak menyetujui, antara lain, kenaikan pajak (termasuk naiknya pajak atas laba perusahaan swasta), reformasi pensiun (pemotongan), dan pemangkasan bonus pegawai negeri itu (penurunan gaji, a.l. gaji guru). Berita terakhir pendemo guru di Yunani, posternya tertulis, "Kirimkan Tagihan itu kepada Orang yang Bertanggung Jawab". Kita berharap pemerintah kita mulai mawas diri sejak awal, sehingga pemerintah, perwakilan kita (DPR) tidak terjebak atas ketidakmampuannya mengontrol utang, karena akhirnya, rakyatlah yang menelan pil pahit setelah disuntik.

Yunani akan menerima dana talangan dari Uni Eropa dan IMF (bailout) dengan syarat, Yunani mau memangkas pengeluaran dan tunjangan pegawai negeri. Bantuan utang lembaga keuangan internasioanal memang selalu menyertakan syarat atau catatan. Selain Jeman, Perancis dan Itali menyatakan siap membantu. Bank Sentral Eropa (ECB) pun akhirnya tidak membatasi lagi jumlah minimal obligasi terbitan Yunani (biasanya tergantung peringkat/ indeks). Lembaga pemeringkat ini dinilai ikut menjebloskan Yunani dalam krisis. Terlihat dengan ramainya para investor melepaskan obligasi terbitan Yunani, walaupun jaminan kepercayaan telah dikumandangkan oleh pimpinan2 negara dan lembaga eropa dan keuangan dunia. Seperti peringkat S&P, maka jelas pendekatannya adalah kepentingan pemodal. Ekspektasi menentukan harga harga. Ujungnya, spekulator bisa membuat utang semakin mahal. Begitu rating ini turun, larilah modal (capital outflow).

Kalau utang kita sangat tergantung SUN atau obligasi (penulis tak bicara sukuk karena kaidahnya berbeda, perlu kajian dalam), maka kepasrahan ini jadi cambuk (mau tidak mau), untuk terus meningkatkan kinerja yang propasar. Termasuk utang swasta dari pemodal asing, harus propasar. Bila terjadi overheating, keuntungan melambat, PDB mulai turun, rupiah melemah, investasi tidak menjanjikan lagi, maka larilah modal itu. Inilah yang mungkin dimaksudkan kontrol utang ala Obama (walaupun utang AS sendiri besar). Kebijakan kontrol utang hendaknya mengurangi risiko bom waktu.

Tampak kasat mata, sejarah lazim berkata sama, setiap krisis ekonomi karena krisis kepercayaan (ekspektasi), tidak ada penyelasaian cepat. Utang bermata dua, satu sisi menguntungkan jika prospektif, sisi lain, sekali saja menimbulkan krisis ketidakpercayaan, implikasi dan proses penyembuhannya lama.

Penulis berusaha mengangkat garis besar yang tampak dipermukaan dan berusaha mengambil pelajaran terbaik Karena keterbatasan wawasan (awam) ini, dan keterbatasan rubrik, semoga tertutup dengan analisa kompasioner yang bermanfaat juga buat pembaca lainnya. Krisis ekonomi di Yunani ini, adalah hal yang juga menjadi sorotan Budiono. Diakui. Dalam pandangan Boediono, krisis di Yunani sebagai hal serius untuk dicermati perekonomian Indonesia. Menurut bekas Menko Perekonomian itu, krisis disebut global, dalam arti bisa merembet ke yang lain. Krisis di belahan bumi lain, bisa menimbulkan dampak yang sama di negara lainnya (Politik Indonesia/2010-05-09 09:42:30, mun/na). Selain dampak, tentu kira harus bisa memetik pelajaran dari krisis itu buat bangsa kita, agar tak ikut terpuruk. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline