Dirjen Pengelolaan Utang baru baru ini (Surabaya Post; 20/4/2010), mengatakan pemerintah rencananya akan menambah utang negara 2T dari penerbitan SBN. Senior Chief Economist Standart Chartered Bank, Fauzi Ikhsan, pengamat ekonomi Farial Anwar, memberi catatan masalah pengalokasian. Bila tanggungjawabnya adalah negara, setiap pengadaan dana dari pihak ketiga harusnya mendapatkan kontrol kuat, khususnya dalam kondisi defisit anggaran. Defisit, berarti ada kesalahan prakiraan, manajemen keuangan, atau pengalokasian. Cek dulu pengalokasian selama ini. Bukankah pembelian mobil mewah, pemugaran pagar istana, rencana pembelian pesawat presiden, termasuk pemborosan? Pemberian fasilitas mewah kepada pejabat publik, cermin negara kapitalis. Kalau Obama memiliki mobil baru anti peluru, mobil ini buatan GM. Mengapa kita tidak pakai Toyota Kijang Astra saja? Contoh keteladanan yang baik, karena muatan lokalnya sudah tinggi. Ada sense of crisis, karena beban utang negara perkepala rakyat makin tinggi. Penghematan dan sikap keprihatinan tak terlihat. Total utang negara saat ini 1619T (Detik Finance tgl.10/4/2011), dan perkepala rakyat terbeban 7,5 juta rupiah (ada yang mengatakan 6 – 7 juta). 25,8% dari PDB. Ada pendapat, PDB besar, utang besar tak masalah. Tapi bagaimana dengan ketahanan nasional dalam semua aspek kehidupan bangsa dan negara? Tahun 2010, utang jatuh tempo 116T. Puncak terbesar tahun 2033, 127T (termasuk surat utang eksBLBI). Tulisan pengantar terdahulu disini.
Pinjaman utang Sukuk (pembiayaan syahriah), ternyata memang selalu meminta persetujuan DPR untuk penjaminan (underlying asset) aset negara, dan penyeleksian Bappenas, khususnya untuk pendanaan berbasis proyek (Bisnis Indonesia, 19/4/2010). Bulan Februari lalu, pemerintah telah menerbitkan sukuk ritel 8,03T. Per 15 April, lanjutan rilisnya, total penerbitan surat berharga syariah negara, mencapai 14,8T. Praktek pinjam uang terus berlanjut, dan ternyata melibatkan DPR. Tidak jauh beda dengan penanganan krisis awal era reformasi. Rekapitulasi, privatisasi, penjualan aset negara, juga mendapatkan persetujuan DPR. Laksamana Sukardi dan pejabat pemerintah lainnya tidak mungkin bisa dituntut. Ini wilayah kebijakan, yang melibatkan DPR saat itu. Bukan pelanggaran pidana. Samalah dengan jawaban KPK atas penanganan kasus Century. Ketika hiruk pikuk permasalahan terangkat, wakil rakyat seperti cuci tangan. Pemerintah Mega yang salah. SBY yang salah. Rakyat yang terbeban utang itu bisa cuci tangan? Jelas bisa, karena bukan pelaku. Tapi tetap terbeban dalam bentuk pajak dan lain lain. Rakyatlah penanggungjawabnya, dan berbaik hati.
Mengapa jenis pajak rakyat diperluas, tapi intensif kurang berjalan? Akibat berbagai kebocoran pajak, seperti yang dijawab oleh Bp.Bakkarudin Is, penulis Kompasiana, bahwa komisi III DPR memperkirakan ada 300T yang tidak masuk pajak negara, dihitung berdasarkan prakiraan fee kejahatan pajaknya Gayus, BA, dan lain lain, timbul pemikiran baru, bagaimana kalau ditjen pajak ini dipisahkan dengan Depkeu. Usul itu disampaikanAnggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, Senin (5/4), (Surabaya Post5/4/10). Usul ini mendapat dukungan kuat dari Ichsanuddin Nooersy. "Selama di Kemenkeu menyatu antara yang menerima uang, menggeluarkan uang, dan memberikan utang, maka tak akan ada reformasi birokrasi. Bohong besar kalau ada reformasi birokrasi," katanya. Tapi disanggah Fauzi Ichsan. “Kalau kode etik kerjanya sudah buruk, mau dipisahkan juga tetap akan buruk. Jadi usulan ini tidak menjawab evaluasi yang ada sekarang,” katanya.
Benang berah apa yang bisa diambil? Manajemen salah? Reformasi birokrasi gagal? Reformasi pembinaan moral, kode etik kerja ditjen pajak gagal? Saya simpulkan saja. Selama reformasi bidang apapun, dalam era reformasi ini, tidak mendapatkan porsi kuat, tak ada bedanya dengan era orde baru. Tatanan berubah, implikasi sama. Kebocoran ada dimana mana. Kemampuan pemerintah melunasi utang negara, lemah, karena terjadi penyelenggaraan dan praktek manajemen yang salah. Gali lubang tutup lubang. Dengan beban utang negara yang besar dan manajemen yang salah, pembangunan sampai kapanpun dalam era reformasi, hanya berjalan ditempat. Bagaimana nasib rakyat kedepan? Layakkah pemerintah terus menambah utang, dengan persetujuan DPR? Sementara pemborosan negara dan kebocoran ini terus berlangsung, tanpa koreksi dan kontrol kuat dari wakil rakyat. Bukan hanya sekedar “pengendalian”. Jika kikuk, ewehpakeweh, terjebak sistem, serahkan saja mandat ke rakyat sebagai alternatif. Putusan atas dasar suara terbanyak di DPR belum tentu cerminan kehendak rakyat banyak. Mandat rakyat diperluas melalui referendum. Kasihan anak cucu kita yang terbeban utang. Tulisan pengantar terkait disini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H