Lihat ke Halaman Asli

Proposal Pembangunan Kesehatan bagi Presiden Jokowi #jamborePS

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Proposal Bagi Presiden Jokowi
#jamborePS
HANIBAL HAMIDI
LAPORAN KEGIATAN
Nama Kegiatan : Diskusi Publik “Menilai Agenda
Pembangunan Kesehatan Capres dan Cawapres
Tahun 2014 – 2019
Waktu Pelaksanaan : Selasa, 24 Juni 2014
(10.00– 13.30)
Pelaksana Kegiatan : merDesa Institute
bekerjasama dengan Prisma Resources Center
Tempat : Merdesa Koffie, Jl. Veteran 1 No.23
Jakarta Pusat
Tujuan Kegiatan :
Terfasilitasinya debat publik tentang visi misi
Capres Cawapres 2014
Penguatan komitmen bersama untuk pemenuhan
hak dasar sehat melalui momentum Pilpres
2014.
Hasil yang diharapkan :
Terbentuknya dokumen usulan terhadap Capres
Cawapres 2014 terpilih untuk agenda pemenuhan
hak dasar sehat bagi seluruh rakyat (revolusi
kesehatan).
Pembicara :
Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D, Sp.GK (Kepala
BKKBN)
Dr. dr. Imam Rasyidi, Sp.OG (K) Onk (Ketua
Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama)
Dr. Sugiri Syarief, MPA (Pakar Kependudukan)
HM. Bambang Sulistomo, SiP, M.Si (Staf Ahli
Bidang Politik dan Kebijakan Kesehatan
Kemenkes)
Dr. Emi Nurjasmi, M. Kes (Ketua Umum IBI)
Dr. Zaenal Abidin, M.H (Ketua Umum PB – IDI)
Harry Wibowo (Perwakilan NGO/Aktifis Ecosoft)
dr. Tubagus Rahmat Sentika, Sp.A, MARS (Staf
Ahli Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat)
Prof. Dr. dr. H. Muh. Syafar, MS (Wakil Dekan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin)
Dr. Dhaniel Dhakidae (Prisma Resources Center)
Dr. Budi Hartono SE, MARS (Profesional
Kesehatan)
dr. Hanibal Hamidi, M.Kes (Inisiator Perdesaan
Sehat, Asisten Deputi Urusan Sumber Daya
Kesehatan, KPDT)
Prof. Dr. Rafael Marthinus Osok, M.Sc (Ketua
Lembaga Penelitian Universitas Pattimura)
Dari. Kartono Mohamad (Tokoh Kesehatan)
Wartawan :
Doni (Metrotvnews.com)
Nurul (Dokter Kita)
Firdaus Anwar (detik health)
Afrizal Aziz (RRI)
Hendry (Gatra)
Nurrochman (Parliement Magazine)
Robbi (Harian Terbit)
Harry Wibowo (Prisma)
Akidah (Comado Courier)
Dani (Indopost)
Fathia N. Haq (Media Indonesia)
Ismi (ANTV)
Rifqi (Metro tv)
Farid (Info Bisnis)
Gamar (solmagz.com)
Fika (okezone.com)
Edo (IFY)
Januar (Gatra.com)
Penyampaian Orasi singkat:
Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D, Sp.GK
Mulai dari kenyataan bonus demografi, yaitu
puncaknya pada tahun 2045 saat angka tenaga
kerja sangat tinggi, lebih dari 200 juta. Pada
saat
yang lain menua, kita melihat saat ini mereka
masih di usia 14 atau 15 tahun (saat ini masih
remaja). Sehingga, kondisi kesehatan remaja
saat
ini menjadi invest bagi pembangunan di waktu
mendatang. 1000 hari pertama kehidupan,
dimulai
dari remaja. Sedangkan 48% remaja kita saat ini
kurang gizi, anemia, yang berujung pada resiko
kematian ibu saat melahirkan. Tidak lagi, tiggi
badan yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
Calon pengantin, alangkah baiknya jika mereka
punya visi yang baik untuk menyiapkan diri dari
hamil sampai melahirkan serta mengembangkan
anaknya. Sebenarnya, angka pemeriksaan
kehamilan kita cukup tinggi, 98% berkontak
dengan tenaga kesehatan. Namun, hanya 38%
yang melahirkan melalui sarana kesehatan.
Kita harus mulai menyiapkan diri remaja, calon
pengantin, sebagai investasi kedepannya. Inilah
1000 hari pertama kehidupan, harus diperhatikan
dengan baik. Saat ini, anak-anak yang tidak
tumbuh dengan wajar, 1 dari 3 adalah anak
Indonesia. Jadi sel-sel otaknya tidak
berkembang,
kecerdasan holistiknya terganggu, stimulasi pada
anak-anak di 1000 hari pertama melalui jaminan
kesehatan, pengasuhan yang baik, kecukupan
gizi,
dan stimulasi pada anak sejak hari pertama
melahirkan. Setelah anak dari umur 3 tahun
sampai 6 tahun perlu perawatan yang baik.
Saat ini 30 juta anak-anak kita berada di SD. Di
SD terdapat program UKS yang solid, sebaiknya
UKS dijadikan sebagai program komunitas
menggunakan sekolah sebagai pusat pendidikan
dan pembelajaran. Sehingga dapat membantu
keluarga dan sekolah saat anak tersebut berada
dalam masa sekolah. Sampai anak-anak selesai
wajib belajar, dapat kita dukung, baik
pencegahan
dalam penyakit menular maupun tidak menular.
Berdasarkan data Bappenas, jenis penyakit yang
banyak terjangkit dulu adalah penyakit menular,
yaitu ISPA. Saat ini banyak diisi oleh penyakit
tidak menular seperti dibetes, stroke, kanker.
Malaria masih banyak di daerah timur Indonesia.
Kita memiliki 72 fakultas kedokteran, tetapi
sampai saat ini kita masih kekurangan dokter di
puskesmas. Kemana dokter-dokter tersebut? Di
bidang pendidikan ada Indonesia Mengajar,
dalam
bidang Kedokteran dulu Ibu Nilam ada Cerah
Nusantara, namun masih dalam skala kecil. Kita
kembangkan model kombinasi bottom up dengan
top down, agar daerah-daerah otonomi dapat
merasa memiliki, dengan mengikuti aturan main
pusat tetapi disesuaikan dengan kondisi lokal.
Program JKN diharapkan banyak membantu,
namun jangan sampai JKN merampas dana dan
kita tenggelam kepada kuratif dan tidak berdaya
pada promotif preventif.
ASEAN community sudah didepan mata,
seberapa
siap kita menjadi tuan rumah di negara sendiri.
Karena bonus demografi kita terbesar, semoga
kita bisa menyiapkan tenaga professional agar
Indonesia terangkat di mata dunia.
Dr. dr. Imam Rasyidi, Sp.OG (K) Onk
Mengenai masalah kesehatan, terkait MDGs di
2014 terutama untuk Angka Kematian Ibu (AKI)
tidak on track. Malah menunjukkan target
118/100.000 kelahiran naik menjadi 258/100.000
kelahiran. AKI di Indonesia sangat tinggi,
terbesar
di Asia Tenggara. Dari 4 juta kelahiran setiap
tahunnya, sekitar 20 ribuan ibu meninggal.
Sehingga harus segera dilakukan revolusi di
bidang kesehatan Ibu dan Anak.
Anggaran yang diusulkan Capres-cawapres
harus
meningkat untuk kesehatan Ibu dan Anak, dari 3
% menjadi 5 %. Peningkatan anggaran untuk ibu
anak sangat dikedepankan. Dengan tingkat
kematian Ibu yang tinggi, juga harus
merevitalisasi program KB. KB harus berjalan
lagi.
Tenaga kesehatan di daerah-daerah masih
kurang, sehingga seperti usulan Pak Prabowo
Subiyanto, harus ada pemerataan tenaga
kesehatan. Harus ada usulan impres, dokter baru
lulus harus kembali ke daerah tertinggal. Harus
ada peraturan yang jelas tentang itu.
Apapun jenis program di level bawah, sering
macet. Maka NU mengupayakan agar program
tersebut harus sampai ke masyarakat. Sehingga
usulan saya, meningkatkan peran serta
masyarakat dalam bentuk empowering
community.
Dr. Sugiri Syarief, MPA
Persoalan kesehatan harus diselesaikan bersama
masyarakat, masyarakat harus diberdayakan,
diajak dalam setiap kegiatan dalam program
pemenuhan kesehatan. Program yang dilakukan
Bappenas, sudah ada pemberdayaan masyarakat,
namun dalam prakteknya tidak ada kegiatannya.
Banyak lembaga mengangkat kegiatan bersama
dengan masyarakat, namun saat ini program
yang berjalan hanya sendiri-sendiri, tidak
melibatkan masyarakat. Dulu kita dapat
menurunkan AKI dan AKB, karena mengerjakan
secara bersama-sama. Saat ini karena berjalan
sendiri-sendiri jadi malah naik, AKI AKB nya.
Sehingga, pemberdayaan masyarakat harus
berjalan beriringan dengan program yang
dilakukan oleh pemerintah maupun LSM.
Tugas kita mengisi usulan Capres – Cawapres
untuk mendorong perbaikan pelaksanaan
program
kesehatan di negara kita. Jika dilihat undang-
undang, walaupun belum sempurna tapi sudah
lebih baik. UU No.36 ataupun UU No. 52
mengenai kependudukan dalam bidang
kesehatan,
belum terlaksana dengan baik. Saya tidak
sependapat jika indikator kesehatan (mengenai
Usia Harapan Hidup) akan dirubah oleh
Kemenkes.
Di tahun 2014-2019 kita memasuki bonus
demografi, kondisi dimana angka ketergantungan
pada titik terendah, angka ini dapat berhasil jika
sumber daya manusia-nya baik. Sumber Daya
Manusia yang baik terkait sisi pendidikan dan
kesehatan. Oleh sebab itu dari sisi kesehatan,
harus dipersiapkan kondisi anak-anak sejak anak
itu lahir. Harus ada program perbaikan gizi anak
(seperti saat Jepang memberlakukan program
makanan tambahan, yaitu makan ikan tuna),
sehingga dapat diberlakukan pemberian makanan
tambahan di PAUD atau SD untuk meningkatkan
kualitas gizi anak.
Harus dapat membangun kesadaran atas
pemeliharaan kesehatan. Saat ini lebih banyak
program kuratif, dimana program kuratif tersebut
lebih banyak menghabisakan uang. Kita harus
mengawal daerah agar tidak membuat program-
program yang tidak bermanfaat bagi daerahnya,
sehingga kita harus mengawal politik anggaran
di
DPR.
Kita harus memperbaiki para pelaksana program
kesehatan, dimana saat ini nuansanya lebih
mementingkan ekonomi dibandingkan sosial.
Membangun karakter yang baik para tenaga
kesehatan yang ada (dokter, bidan, maupun
perawat).
Asuransi kesehatan/ pembiayaan kesehatan, agar
orientasi tidak hanya pada kuratif saja tetapi
diarahkan dalam bentuk preventif juga. Kita
berusaha agar BPJS dpat meng-cover promotif
preventif, agar dapat menguntungkan sisi
kuratifnya juga nantinya.
HM. Bambang Sulistomo, SiP, M.Si
Saat ini, anggaran untuk kuratif lebih banyak
daripada anggaran untuk promotif preventif.
Selama ini kita lebih melayani penyakit daripada
mencegah penyakit. Upaya promotif preventif
tidak ada yang mengurus. Kita harus mengubah
mindset untuk lebih berupaya mencegah
daripada
mengobati penyakit, kalahkan penyakit.
Pada saat Kementrian Pembangunan Daeah
Tertinggal membuat program Perdesaan Sehat,
saya langsung dukung. Program ini langsung
melakukan intervensi, yang ditunggu oleh rakyat.
Banyak program-program yang datang dan pergi,
tidak menghasilkan apa-apa. Kemandirian
masyarakat dalam menjaga kesehatan menjadi
yang utama. Jika dilihat, kedua capres ini tidak
ada mendahulukan promotif preventif. Kita harus
ubah mindset kita untuk mengalahkan penyakit.
Dr. Emi Nurjasmi, M. Kes
Mengenai Angka Kematian Ibu yang terus
meningkat, kita tidak hanya membicarakan
kesehatan Ibu selama mengandung dan
melahirkan, namun jauh saat sebelum hamil.
Anemi saat remaja (saat di SMP & SMA),
menjadi
faktor utama terjadinya pendarahan saat hamil,
dan kematian pada ibu melahirkan, disebabkan
karena anemi. Kita harus membuat remaja dapat
memelihara kesehatan reproduksi, agar anemi-
nya
tidak muncul.
Akses masyarakat ke pelayanan kesehatan
utama
adalah ke bidan, untuk pelayanan kesehatan.
Tugas kita adalah bagaimana memanfaatkan
kehadiran bidan desa agar maksimal. Bidan di
desa bersifat kontrak, setelah 9 tahun PTT tidak
boleh diperpanjang, itu yang dikhawatirkan oleh
bidan.
Aksesibilitas, kualitas (SDM, sarana prasana
pendukung pelayanan kesehatan oleh bidan) dan
sustainabilitas bidan desa perlu diutamakan.
Saya sangat appreciate dengan program
Perdesaan Sehat Pak Hanibal, karena disitu
sudah
memikirkan permasalah desa secara
konprehensif.
Sehat didalam Perdesaan Sehat tidak semata-
mata hanya masalah kesehatan, tetapi melihat
masalah lain yang juga memberikan kontribusi
terhadap masalah kesehatan. Seperti air bersih,
sanitasi, gizi dan juga transportasi (alat
transportasi penunjang saat melahirkan).
Melahirkan di desa, banyak membutuhkan
bantuan bidan. Potensi bidan cukup besar, upaya
kedepan untuk menguatkan potensi bidan (dalam
bentuk kepastian jenjang karir, dan mendapatkan
perhatian yang sama dari pemerintah seperti
tenaga kesehatan lainnya ataupun tenaga
pendidikan)
Selama ini tidak ada persiapan untuk kehamilan
bagi perempuan, sehingga kesehatan anak tidak
disiapkan dengan baik sejak jauh hari.
Dr. Zaenal Abidin, M.H
Program kesehatan tidak menjadi yang utama
bagi visi misi Capres – Cawapres. Saat ini kita
tidak serius dalam menangani masalah
kesehatan. Kesehatan hanya diangkat sebatas
bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat,
tidak sampai bagaimana menjadi ketahanan
bahkan kedaulatan negara. Isu yang paling
menarik saat ini adalah disparitas pelayanan
kesehatan. Tidak ada pelayanan kesehatan yang
memadai di pedesaan, pelayanan hanya
difokuskan di perkotaan. Kita harus memikirkan
bagaimana terjadinya pemerataan pelayanan
kesehatan, agar orang-orang di perbatasan
(NTT/
Papua) untuk mengakui RI sebagai negaranya
(karena mereka diberikan pelayanan kesehatan
oleh pihak asing). Sehingga, pelayanan
kesehatan
ditujukan untuk mengangkat harkat warga
negara
Indonesia, dan menjaga harga diri kita sebagai
warga negara Indonesia, melalui pemerataan hak
atas pemenuhan kesehatan setiap warga negara.
Warga di pedesaan harus mendapatkan
pelayanan
kesehatan yang sama dengan pelayanan
kesehatan di perkotaan.
Data di IDI menyebutkan bahwa jumlah dokter
gigi ada 115 ribu, dokter umum 97 ribu,
selebihnya adalah dokter spesialis. 20 ribu dokter
ada di Jakarta, baik itu spesialis maupun dokter
umum. Tetapi pemerintah lebih memperhatikan
dokter PNS. Sedangkan dokter PNS sibuk
mengurus dirinya sendiri. Jika jaminan kesehatan
ingin berjalan dengan baik, pemerataan
kesehatan
adalah kuncinya. Ketika orang-orang di
perbatasan (NTT/ Papua) diwajibkan membayar
iuran atau dibayarkan oleh negara, maka disaat
bersamaan mereka juga mendapatkan hak yang
sama atas pelayanan kesehatan yang diberikan
di
Jakarta, harus ada persamaan agar terbentuk
NKRI.
Jika hanya fokus pada dokter PNS (terutama
dokter umum), dari 97 ribu dokter umum, saya
perkirakan hanya sekitar 25 ribu yang PNS,
jumlah puskesmas kira-kira ada 10 ribu, kali 2
saja dengan dokter yang ada dokternya, berarti
ada 20 ribu dokter. Kemudian ada yang bekerja
di
Kementerian kesehatan, yang tidak memberikan
pelayanan kesehatan secara langsung (pegawai
struktural). Sehingga, jika kita ingin
memeratakan
pelayanan kesehatan adalah bagaimana Dokter
yang non-PNS difasilitasi untuk membuka
praktek
sendiri berprakterk sebagai dokter, mengajak
bidan dan perawat untuk melayani pelayanan
kesehatan sendiri. Asal praktek yang dilakukan
dapat menghidupi praktek sehari-hari. Sehingga
kuncinya kembali pada pembiayaan kesehatan
yang harus dapat mendorong pemerataan
pelayanan kesehatan.
Saya setuju dengan Prof. Nilam mencoba
menbangun suatu cara baru, namun sayangnya
daya dukungnya sangat kecil. Karena beliau
harus
mncari dana sendiri dari CSR lembaga, tidak
mendapatkan dana dari negara. Lebih baik
melakukan persebaran tenaga kesehatan dalam
bentuk tim (dokter, bidan, perawat, psikolog)
yang
merata di Indonesia, hingga ke daerah-daerah
terpencil agar terbangun komunikasi yang baik.
Ada 3 model kesehatan; Model Perkotaan,
masyarakat mengadakan sendiri tanpa campur
tangan pemerintah. Model Pedesaan, dan Model
Kepulauan yang harus difasilitasi oleh anggaran
pemerintah.
Jangan mengandalkan dana BPJS, iuran
penduduk kecil. Negara harus bertanggung jawab
penuh atas kesehatan warga negara.
Pak Harry Wibowo
Setelah penandatanganan Helsinsky, secara
implisit Pemerintah RI berjanji terhadap
rakyatnya
untuk mewujudkan hak-hak setiap penduduk
yang
berada di wilayah RI untuk memperoleh standar
kesehatan tertinggi yang bisa dicapai oleh
Negara.
Ada hak di bidang kesehatan ada keterbatasan
dalam jumlah tenaga kesehatan, keterbatasan
anggaran, keterbatasan dalam mengakses
pelayanan kesehatan penduduk di daerah,
keterbatasan sumber daya. Ada pengakuan hak
atas kesehatan tidak dapat dipenuhi saat ini.
Pemerintah harus memenuhinya di masa
mendatang.
Janji Capres – Cawapres harus dapat dituangkan
dalam perencanaan pembangunan di bidang
kesehatan untuk mewujudkan hak ekonomi,
sosial
dan budaya.
dr. Tubagus Rahmat Sentika, Sp.A, MARS
Tidak boleh ada seorang pun warga negara yang
tidak mendapatkan pelayanan kesehatan.
Desentralisasi tidak mungin ditarik lagi ke
sentralisasi. Kawal standar pelayanan minimum
(SPM) di bidang kesehatan agar dapat
terlaksana
dengan baik. Seperti: semua bayi yang lahir
harus
ditolong oleh tenaga kesehatan, setiap bayi yang
lahir harus disuntik vitamin K-1 di kaki kiri,
diberikan vaksin hepatitis B di kaki kanan, dan
mulutnya ditetesi polio. Saat ini gizi bayi dan
balita kurang.
Revolusi kesehatan: Fokus kesehatan ibu dan
anak, Penuhi standar kesehatan minimum dan
tugas perbantuan, Perbaiki maldistribusi tenakes,
dan Fokus pada pelayanan kesehatan promotif
preventif rehabilitative.
Prof. Dr. dr. H. Muh. Syafar, MS
Diskusi mahasiswa kami mengenai
“Kependudukan dalam lampu merah” tulisan
Bapak Fasli Jalal, hasilnya: Pernikahan usia dini
menyebabkan perceraian, sangat menentukan
dalam kesehatan individu tersebut.
Di Sulawesi Tengah, rasio bidan dan dokter
tergantung kemampuannya, bagaimana
kemampuan mereka membiayai ketersediaan
dokter dan bidannya.
Skill tenaga kesehatan, seperti bidan harus lebih
ditingkatkan, terkait kurikulum pendidikan
(akademi kebidanan) yang harus lebih
berkualitas. Diupayakan agar memberikan
kemampuan komunitas di lapangan agar mampu
mengubah mindset masyarakat.
Kesehatan milik setiap masyarakat, bukan hanya
tanggung jawab tenaga kesehatan saja.
Penyebaran tenaga kesehatan juga harus
diperbaiki agar pelayanan dapat maksimum.
Dr. Dhaniel Dhakidae (Prisma Resources Center)
Kesehatan kurang diperhatikan dalam visi misi
capres-cawapres, dibungkus dalam konsep
human development strategy. Kesehatan dapat
diukur melalui tingkat harapan hidup, tingkat
pendidikan, tingkat kemakmuran. Kesehatan
hanya bisa tercapai jika 3 hal itu diperhatikan
oleh capres-cawapres.
Pendekatan kesehatan ditempatkan dalam
human
development strategy, kedua capres sangat baik
dalam menempatkan hal tersebut, persoalannya
adalah bagaimana praktik dan strategi
pelaksanaannya nanti.
Infrastruktur kesehatan menurut Prabowo,
berupa
puskesmas di desa, pustu, rumah sakit di kota/
kabupaten. Institusi hukum melalui universitas
dan pendidikan tinggi. KB menjadi sesuatu yang
akan dikembangkan secara utama. Kemudian
masuk revolusi putih.
Kesehatan gratis menurut tim Jokowi, melalui
human development strategy dengan
meningkatkan human quality. Kesehatan sebagai
hak, sehingga tuntutan masyarakat sangat besar
terhadap strategi tersebut. Infrastruktur tidak
dibahas oleh tim Jokowi. Institusi, berupa
kerjasama dengan pihak global untuk memerangi
penyakit menular. Alatnya melalui kebijakan
khusus, salah satunya berupa kartu Indonesia
Sehat.
Pertanyaannya adalah, apakah kesehatan
ditempatkan pada sisi market, dimana adanya
pembayaran, sistem kapitalis atau neo liberalis,
atau memberikan paham sosialis di dalam
kesehatan. Keduanya mengunakan sistem market
dan sistem subsidi didalam pelayanan
kesehatan.
Sistem kapitalis untuk kelas atas, dan sistem
sosialis untuk kelas bawah. Namun sosialis pun
tidak konsisten, kesehatan adalah hak bagi
citizens dan kewajiban bagi negara untuk
melayani setiap warga negara. Kedua sistem
gabungan ini yang akan diambil oleh kedua
pasang capres ini.
Dr. Budi Hartono SE, MARS
Capaian-capaian yang belum tercapai, masalah
yang mendasar ialah bagaimana cara pandang,
paradigma bagaimana mengisi pembangunan di
negeri kita. Di negara maju, tools yang
digunakan
ada 2 sebagai alat pengukur kinerja suatu
organisasi, dengan berbagai indikator. Tools
pertama membahas leadership. Momen
pemilihan
capres dan cawapres adalah saatnya membahas
akar masalah pertama, melalui tools leadership
ini. Ketika leadership kita efektif, maka
manajemen yang dilakukan akan jauh lebih
efektif. Namun jika leadership itu disi
menggunakan cara-cara yang tidak sesuai, maka
proses manajemen pun ikut berjalan dengan
tidak
baik.
Ketika kepemimpinan sudah berjalan, tugas kita
adalah memasukkan keilmuan-keilmuan
mengenai
public health yang utama, karena masalah
kesehatan di negeri ini tidak bisa diselesaikan
oleh dokter saja namun harus diselesaikan
dengan cara spectrum yang lebih luas, yaitu
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative.
Negara maju seperti Amerika, pun sedang
mengalami masalah terkait bengkaknya
pembiayaan kesehatan atas pelayanan kuratif.
Ketika basis perkembangan yang dilakukan
dengan cara mengutamakan leadership daripada
manajemen, maka akan terbentuk karakter baru
yang akan terbangun. Selama ini karakter yang
terbentuk hampir sama. Ketika seorang
pemimpin
berada di depan rakyatnya membicarakan segala
aspek (termasuk kesehatan), rakyat akan bisa
memecahkan masalahnya sendiri. Seperti
ungkapan: “Local problem can be solved by local
person”. Betapa tidak efisiennya jika semua
pembangunan dilakukan oleh pemerintah,
kemudian menyuruh rakyatnya, mengurus rakyat.
Yang terbaik adalah membuat rakyatnya mandiri.
Sehingga, pentingnya aspek leadership ini harus
kita kawal. Setidaknya ini merupakan semangat
awal sehingga rencana pembangunan jangka
panjang untuk meningkatkan derajat kesehatan
setinggi-tingginya dapat tercapai
dr. Hanibal Hamidi, M.Kes
Berdasarkan nomenklatur, tingkat keberpihakan
atas kesehatan sangat rendah dan
membingungkan. Fakta atas kualitas kesehatan
yang diukur dari AHH, AKB, sangat bermasalah
bagi Indonesia. Bagaimana persoalan ini dibawa
kedepan di 2014-2019 memalui 2 bahan,
dokumen capres-cawapres dan fakta
permasalahannya. Resources yang ada adalah
bagaimana sistem kesehatan nasional hari ini.
Problem mendasar, bagaimana SKN
dioperasionalkan sehingga menjadi landasan
dalam transfer anggaran pemerintah ke daerah
untuk menjadi pemenuhan hak atas pemerintah
daerah. Namun ternyata, belum
merepresentasikan atas kebutuhan kesehatan
seluruhnya.
Ada amanah di UU 52 tentang kependudukan dan
KB, ada juga UU 40 tahun 2003 SJSN dan UU 24
tahun 2011 tentang BPJS, UU 36 tentang
kesehatan, ada kebijakan politik oleh pemerintah
daerah dalam otonomi. Ini menjadi masalah.
Sehingga, kita butuh rekonstruksi ulang. Belum
mengenai faktor penentu dasar; air bersih,
sanitasi dan gizi yang tidak bisa dikendalikan
oleh Kemenkes. Siapa yang harus mengendalikan
dalam konteks pembangunan? Angka Harapan
Hidup tidak lagi menjadi beban Kemenkes,
berdasarkan dokumen yang ada, tidak ada
gambaran yang jelas siapa yang akan
melakukannya. Kami mendorong untuk
menyerahkan kepada Menkokesra.
Dalam Sistem Kesehatan Nasional, dibutuhkan
rekonstruksi total serta perubahan total atas
kelembagaan dan penganggaran. Ada resiko atas
gagalnya BPJS, dan bila gagal, resikonya adalah
ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Saran saya, gagasan ini direkomendasikan
kepada Presiden terpilih, bentuk tim kecil agar
lebih operasional.
Mengenai Perdesaan Sehat, merupakan inisiasi
atas visi Indonesia 2025 : Pembangunan
berwawasan kesehatan dan berbasis perdesaan.
Perdesaan kita dorong seluruh pihak pada saat
melakukan pembangunan dengan
mempertimbangkan dampak kesehatan. Di tahun
ini, pada bulan desember akan me-launching
pendekatan berbasis kelautan, bekerjasama
dengan universitas Pattimura dengan mendorong
adanya pelayanan regular di 20 titik berbasis
provinsi kepulauan dan secara regular dalam 1
tahun melakukan trip pelayanan promotif
preventif
dan kuratif rehabilitatif. Insha Allah akan di-
launch pada saat hari Nusantara oleh Presiden
terpilih nanti. Mengenai isu lainnya, bahan
berbasis ekonomi (tropical disease) menjadi
penting untuk dipertimbangkan sebagai salah
satu basis ekonomi Indonesia. Layaknya negara
maju seperti Amerika, di mana nilai white paper
farmasinya mampu memulihkan perekonomian
Amerika yang sempat jatuh beberapa waktu
yang
lalu. Sekaligus diharapkan melalui
pengembangan
semua yang terkait dengan isue tropical disease
maka Idonesia diharapakan akan mampu
berdaulat terhadap pembangunan kesehatannya
sendiri.
Perdesaan Sehat ingin memastikan adanya
paradigma pembangunan nasional yang
berwawasan kesehatan dengan basis perdesaan.
Dengan 5 (Lima) Fokus strategi utama pada
kepastian; ketersediaan dan berfungsinya
jabatan
fungsional 1)Dokter Puskesmas dan 2)Bidan
Desa
sebagai 2 (Dua) faktor dasar kualitas kesehatan
di setiap Puskesmas maupun Desa di setiap
wilayah kerja Puskesmas (Perdesaan) pada
Daerah Teringgal pada khususnya dan secara
nasional pada umumnya. Selain itu juga sangat
penting untuk memastikan ketersediaan 3 (Tiga)
faktor penentu dasar kualitas kesehatan
masyarakat, yaitu; 3)Air Bersih, 4) Sanitasi
bagi
setiap rumah tangga dan 5) Gizi seimbang
terutama bagi setiap ibu hamil, ibu menyusui,
bayi dan balita. Dengan demikian apabila 2
faktor
dasar dan 3 faktor penentu dasar kualitas
kesehatan yang merupakan 5 determinan faktor
penentu kualitas kesehatan pada setiap
perdesaan wilayah kerja setiap puskesmas
terwujud, maka dapat dipastikan secara
berjenjang setiap kabupaten, setiap propinsi dan
secara nasional akan terwujud derajat
kesehatan
yang setinggi-tingginya yang dapat dicapai.
Hal tersebut tidak mudah diwujudkan karena
membutuhkan prasyarat berupa komitmen yang
kuat dan regulasi, koordinasi yang efektif dan
terintegrasi pelaksanaan kebijakan melalui
kelembagaan secara berjenjang dengan prinsip
ketersediaan, keterjangkauan, keberterimaan
dan
berkualitas dalam pemenuhan hak atas sehat
seluruh warga NKRI. Dimana hak sehat tersebut
dengan menjabarkan amanah seluruh undang-
undang terkait termasuk yang terkait dengan air
bersih, sanitasi maupun pangan yang
berkualitas
yang terintegrasi dalam Sistem Kesehatan
Nasional Reformasi. Hal ini mengharuskan
adanya rekonstruksi total sistem kesehatan
nasional, yang secara langsung menuntut
realokasi anggaran, reposisi peran kelembagaan
dan sekaligus indikator kinerja sebagai
instrumen
kendali manajemen pembangunan yang sesuai
dengan tugas dan fungsi sekaligus kewenangan
masing-masing Kementerian dan Lembaga serta
pemerintah daerah. Untuk itu semua maka
dibutuhkan langkah segera (dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya) merekonstruksi secara
total sistem kesehatan (Revolusi Kesehatan).
Prof. Dr. Rafael Marthinus Osok, M.Sc
Masalah yang dihadapai ialah masalah
kesehatan,
kemiskinan dan pendidikan. Mengenai dokter
wajib PTT, tidak dijelaskan berapa lama dokter
wajib tinggal di daerah. Yang sering terjadi
adalah mereka hadir saat pembukaan saja,
kemudian pergi dan tidak kembali lagi, kemudian
ada lagi saat penutupan. Masalah yang
dihadapai
oleh kami, 6 bulan selama musim ombak,
pelayanan kesehatan terhenti.
Letak geografis, sangat menentukan posisi
puskesmas. Banyak puskesmas yang
membutuhkan biaya dan waktu untuk
menjangkaunya. Lebih dari 80% tindakan utama
kesehatan dilakukan oleh Dukun, karena Dokter
jarang berada di tempat. Ibu hamil jarang ke
puskesmas atau RS karena aksesnya susah
dijangkau.
Masalah pemahaman tentang kesehatan yang
minim, sarana pelayanan kesehatan yang kurang
memadai juga menjadi penyebab ketertinggalan.
Aspek ekonomi juga menentukan, jika ada uang
lebih tidak diutamakan untuk kesehatan.
Sumber Daya Manusia juga perlu dikembangkan.
Terkait masalah kesehatan di daerah tertinggal
memang sangat dekat dengan masalah gizi dan
sanitasi. Air bersih sanitasi sangat berpengaruh
besar di daerah tertinggal. PU membangun WC,
namun tidak ada air. Pembangunan kesehatan
sangat tergantung pada pembangunan ekonomi.
Sehingga butuh koordinasi antar KL, agar
terselesaikan semua masalah kesehatan.
Tambahan oleh Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D, Sp.GK
Perencanaan dalam bentuk makro tidak ada
masalah. Dialog berikutnya kita mulai dengan
struktur pembiayaan. Bagaimana membagi dana
yang ada untuk promotif preventif, dengan yang
kuratif agar jelas tidak ditarik oleh BPJS. BPJS
yang berkualitas penting untuk orang miskin.
Fokus ke struktur pembiayaan dan model
delivery-nya, dan bagaimana kepastian otonomi
atas tanggung jawab menyehatkan masyarakat.
Masukan tertulis Dr. Kartono Mohamad
Kebanyakan politisi, juga media massa, masih
melihat masalah kesehatan rakyat di Indonesia
secara sempit dan “short sighted”. Pada
umumnya melihat masalah kesehatan di
Indonesia adalah masalah kurangnya dokter,
rumah sakit, puskesmas, dan mahalnya biaya.
Maka konsep solusinya hanyalah sebatas:
“pengobatan gratis, penyediaan rumah sakit,
penyebaran dokter, bahkan dokter spesialis”.
Konsep solusi yang populis tetapi tidak
menyelesaikan masalah.
Para capres dan politisi lupa bahwa kewajiban
pemerintah dalam hal kesehatan adalah menjaga
agar rakyat mampu hidup sehat, kalau perlu
jangan sampai ada yang sakit, apalagi mati
karena hal yang sebetulnya dapat dicegah
(“preventable death”). Kalau rakyat hidup sehat,
mereka akan mampu meningkatkan kemampuan
menabung karena biaya yang seharusnya untuk
pengobatan dapat dihemat dan digunakan untuk
hal lain yang lebih positif. Rakyat akan jadi lebih
produktif, dan negara akan diuntungkan dengan
peningkatan produktivitas itu.
Maka seharusnya visi capres adalah “menjaga
agar rakyat hidup sehat pada tiap tahapan
hidupnya” (Healthy at Every Stage of Their
Lives).
Dan itu dilakukan bukan hanya dengan
mengobati
kalau sakit, membangun rumah sakit atau
puskesmas.
Program pengobatan gratis adalah program yang
mengecoh karena tidak ada yang disebut sebagai
pengobatan gratis. Semua memerlukan biaya.
Pengertian pengobatan gratis yang berarti
ditanggung oleh negara, pada ujungnya akan
membebani anggaran negara, apalagi kalau
jumlah yang sakit semakin banyak.
Untuk menjamin agar rakyat dapat hidup sehat
diperlukan pemahaman tentang berbagai
determinan penyebab sakit, penanggulangan
penyebab penyakit termasuk pencegahan
penyakit, penyediaan sarana untuk hidup sehat,
dan sarana penyembuhan bagi yang sakit.
Dalam penelitian Gosse tahun 1983, penyediaan
sarana penyembuhan (rumah sakit, dokter)
hanya
memainkan peranan sebesar 4% dalam upaya
menyehatkan rakyat (menurunkan angka
kematian bayi, kematian ibu, dan
memperpanjang
jangka harapan hidup). Tetapi di Indonesia, para
politisi justru lebih sibuk dengan bagian itu.
Peranan terbesar adalah pada perbaikan sanitasi,
penyediaan air bersih, pendidikan (terutama
pendidikan kaum perempuan), perbaikan
komunikasi dan transportasi, dan peningkatan
ekonomi. Urutan terakhir adalah penyediaan
sarana penyembuhan.
Masalah lain yang dihadapi Indonesia dalam hal
kesehatan adalah: pertambahan penduduk yang
tinggi (terutama karena hal ini terjadi di
kalangan
miskin, rendah pendidikan, dan tinggal di daerah
yang jauh dari jangkauan program kesehatan).
Masalah ini perlu mendapat perhatian khusus.
Masalah berikutnya adalah meningkatnya
prevalensi penyakit tidak menular seperti
penyakit
jantung, stroke, diabetes, tekanan darah tinggi,
kanker, dan kecelakaan. Masalah ini lebih
berkaitan dengan pola (cara) hidup tidak sehat.
Beban ekonomi akibat penyakit tidak menlular ini
akan sangat besar yang tidak hanya membebani
ekonomi rakyat (keluarga) tetapi juga ekonomi
negara. Penyakit-penyakit ini sekarang
membeikan sumbangan besar terhadap kematian
yang seharusnya dapat dicegah (preventable
death, dan unnecessary death).
Perilaku tidak sehat yang banyak menyebabkan
terjadinya penyakit tidak menular, adalah
ketagihan nikotin (rokok). Terutama karena
jumlah perokok terbesar justru terjadi pada
kalangan miskin dan kalangan tidak
berpendidikan.
Masalah lain lagi adalah akibat desentralisasi
(otonomi daerah) untuk program kesehatan
tanpa
diikuti peningkatan pengertian pada pimpinan
daerah tentang masalah upaya peningkatan
kesehatan rakyat. Banyak yang melihat bahwa
cara meningkatkan kesehatan adalah dengan
mendirikan rumah sakit, tanpa memikirkan
penyediaan tenaga dan anggaran yang
“sustained”. Bahkan banyak pemerintah daerah
yang menjadikan sarana pelayanan kesehatan
sebagai sumber PAD, yang dibayar langsung
oleh
rakyat pemakai, sehingga seolah-olah semakin
banyak rakyat yang sakit semakin tinggi
pendapatan daerah.
Janji pemda akan memberikan jamkesda sering
justru mengakibatkan pemda tidak sanggup lagi
sehingga rumah sakit daerah merugi. Hal ini
sekali lagi karena pemda hanya melihat bahwa
masalah kesehatan rakyat hanyalah masalah
ketidak mampuan mereka membayar
pengobatan.
Sebaliknya program untuk menjaga agar rakyat
tidak sakit diabaikan. Dengan meningkatnya
jumlah Penyakit tidak Menular, tanggungan
pemda untuk membayari jamkesda makin besar.
Adanya SJSN sebenarnya ditujukan untuk
memberikan kepada rakyat untuk membayar
biaya
pengobatan dengan cara mengansur. Tetapi
kalau
BPJS yang didirikan hanya berpikir sekadar
sebagai juru bayar, suatu saat BPJS juga akan
kewalahan. BPJS seharusnya tidak hanya
berperan sebagai juru bayar tetapi juga berpikir
bagaimana agar dana rakyat yang dititipkan
padanya juga digunakan untuk menjaga agar
rakyat tidak sampai jatuh sakit. Dengan demikian
ia juga akan menghemat dana tersebut. Tetapi
BPJS yang ada saat ini justru menghindar dari
kewajiban menjaga kesehatan (yang sebenarnya
akan menguntungkan BPJS juga) dan memilih
sebagai juru bayar ketika rakyat sudah sakit.
Dalam SJSN, iuran orang miskin dibayar oleh
negara. Seharusnya BPJS menyadari bahwa
iuran
tersebut untuk orang miskin di seluruh Indonesia,
yang terutama ada di pedesaan dan Indonesia
bagian Timur. Bukan hanya untuk orang miskin
di
Pualu Jawa. Maka seharusnya salah satu
strategi
BPJS adalah bagaimana dapat menjamin agar
orang miskin di seluruh Indonesia itu dapat
terjangkau oleh pelayanan.
BPJS adalah penerima mandat untuk
melaksanakan SJSN. Bukan hanya mengurusi
pembayaran (sebagai juru bayar) tetapi juga
menjamin bahwa seluruh rakyat Indonesia akan
mendapat pelayanan yang merata di manapun
juga ia berada. Dalam hal ini seharusnya tidak
terjadi dikhotomi antara pemerintah (Kemkes dan
Pemda) dengan BPJS. Antara penyediaan
pelayanan dan pembayaran.
MerDesa Institute, Jakarta 24 Juni 2014
Hanibal Hamidi kpdt #perdesaansehat
#jamborePS Perdesaan Sehat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline