Lihat ke Halaman Asli

Henrico Fajar

Bergiat di SPEK-HAM

Orang Tua yang Sesungguhnya

Diperbarui: 17 Maret 2021   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Beberapa waktu yang lalu Masyarakat Indonesia dihebohkan oleh kabar ajakan menikah muda. Aisha Weddings merupakan pihak yang menyerukan ajakan untuk menikah pada usia 12 tahun. Tak hayal, kecaman dari warganet pun berhamburan silih berganti di media sosial. Mereka tentu saja menanyakan apa sebenarnya yang menjadi motif ajakan tersebut. Kegaduhan  terjadi.

Terlepas dari analisa banyak pihak terkait keberadaan situs http://aishaweddings.com yang keberadaannya masih baru, konten yang belum lengkap dan baru beberapa halaman yang terisi. Namun, nyatanya ajakan yang provokatif ini tentu saja sangat membahayakan dan meresahkan warga masyarakat. 

KPAI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KPPPA) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah merespon kasus ini dan melaporkankanya kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia. Pun beberapa pegiat isu perempuan dan anak turut mengecam kasus ini.    

            Publik harus tahu bahwa perkawinan anak adalah awal dari keterpurukan. Publik perlu diedukasi dan diajak untuk secara terus-menerus bersuara lantang menolak perkawinan anak. Faktanya Anak Perempuan cenderung lebih rentan untuk dikawinkan pada usia 18 tahun. Kerentanan anak perempuan terhadap praktik perkawinan anak menjadi lebih besar ketika hukum (yang pada saat itu) melegitimasi perkawinan anak. (Sigiro, 2020).

            Data dari KPPPA tahun 2018 Indonesia berada pada urutan ke tujuh di dunia dengan jumlah perkawinan anak tertinggi. Sementara itu terdapat 37,9% anak perempuan Indonesia pada usia 10-17 tahun berstatus kawin dan cera, menikah diusia 16 tahun (BPS 2017).

            Faktor yang bisa memicu terjadinya perkawinan anak, antara lain: Akses yang buruk atas pendidikan bagi anak perempuan, latar belakang kemiskinan keluarga (motif ekonomi), narasi tafsir agama yang konservatif dan tidak ramah gender, salah satunya ketakuatan akan perbuatan zina yang terjadi dalam berpacaran. (Chandraningrum, Dhewy dan Pratiwi, 2016).  

            Dampak Perkawinan Anak Perempuan antara lain: memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berdampak pada tingginya angka perceraian, berisiko kematian saat melahirkan akibat komplikasi yang dipicu saat kehamilan, kematian bayi akibat persalinan yang terlalu muda, terkena kanker leher rahim dan sebagainya.

            Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, secara jelas menyatakan syarat menikah minimal berusia 19 tahun. Namun ternyata aturan ini belum cukup ampuh untuk menekan angka perkawinan anak, malahan angka disepensasi perkawinan di Pengadilan Agama meningkat.  

Kita sebagai orang tua tentu saja merasa prihatin dengan kondisi tersebut. Peran keluarga di dalam mencegah terjadinya perkawinan anak sangatlah penting. Keluarga menjadi fondasi utama untuk membentuk karakter anak dengan cara mengasuh dan mendidiknya.

Oleh karena itu beberapa hal berikut perlu dilakukan orang tua di dalam keluarga. Pertama, libatkan anak dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Berapa banyak orang tua yang menyuruh anak-anaknya untuk mencuci baju, mencuci piring, belanja ke pasar, memasak dan membersihkan rumah.

Faktanya banyak orang tua berpikir bahwa melibatkan anak dalam pekerjaan rumah malah bisa memberikan beban pada mereka. Padahal sebenarnya tidak, justru dengan melibatkan anak, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Kebanyakan dari kita sebagai orang tua, seringkali malah memanjakan anak. Menuruti semua keinginan anak adalah awal dari sebuah malapetaka. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak bertanggungjawab, tidak mandiri, anti sosial dan cenderung pemarah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline