Sewaktu SMA, saya punya seorang teman yang rajin betul mengingatkan sholat dzuhur ketika adzan berkumandang. Bagi saya ini istimewa, tersebab ia berbeda keyakinan. Kelakuannya tersebut pun bukan sebuah rasa ingin dilindungi karena persoalan minoritas. Bukan. Kami tak pernah memperlakukan ia dan teman-temannya secara berbeda. Kami tak pernah mengancam mereka. Tak ada kecurigaan dari kami bahwa mereka bakal melakukan makar dan konspirasi. Kami yakin, dan mereka pun yakin bahwa kami baik-baik saja.
Sebenarnya ada ujian bagi kami atas 'kesuksesan' kami dalam membudayakan toleransi di kelas. Yakni ketika dunia diguncang peristiwa 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat. Sebuah peristiwa yang memerlukan pemetaan ulang bagi hubungan Islam dan agama lainnya. Islam tersudut, dan dianggap memicu kembali perang salib di era modern. Seruan jihad, jargon-jargon fundamentalisme menyeruak dimana-mana. Termasuk di kelas saya.
Teman-teman saya yang minoritas ini mulai tidak nyaman ketika mengikuti mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Sebelumnya memang ada pilihan untuk keluar atau duduk di kelas menyimak guru menjelaskan. Namun seperti yang sudah-sudah, mereka memilih untuk mengikuti kelas dan merasa nyaman dan menikmati apa yang guru kami ajarkan. Hanya saja, pasca tragedi 9/11 itu wacana perang salib tersebut mungkin sedikit merasuk ke pemikiran guru Agama Islam kami. Dan semuanya pun jadi sedikit tak sama. Itu ujian kami, namun kami bersyukur hal itu bisa terlewati.
Sepuluh tahun kemudian, saya sempat bekerja di media. Dan salah satu rekan kerja punya keyakinan yang berbeda. Kejadiannya pun mirip, karena sesekali sang teman ini suka mengingatkan sholat ketika waktunya tiba. Suka mengucapkan selamat hari raya ketika saya merayakannya. Dan era pun berubah, ketika saya sudah resign dari tempat kerja, komunikasi kami pun sesekali berlanjut ke media sosial. Dia sering mengucapkan puji Tuhan, dan saya berucap Alhamdulillah.
Era Media Sosial
Karena di media sosial saat ini, apa yang disebut dengan kebebasan bicara menjadi euforia massal. Orang yang dulu masih segan untuk menghardik tetangganya yang memakan babi, kini dengan bebas menulis perasaannya itu via status di Facebook. Orang yang dulu malu-malu untuk marah-marah akibat adzan di masjid, kini ia bebas berkicau lantang mengutarakan kemarahannya di Twitter, mungkin dengan tambahan hashtag #stopAdzan.
Lalu apakah sifat media sosial yang virtual hanya akan menjadikan ujaran-ujaran kebencian dan provokasi itu hanya menjadi sampah digital semata? Nyatanya tidak. Masih hangat soal pembakaran vihara di Tanjung Balai. Betul ada oknum etnis tertentu yang marah-marah soal 'polusi' suara dari masjid, tapi kerumunan massa hingga membakar vihara itu dipicu oleh provokasi di Facebook. Dan lewat media, kita tahu pelaku provokasi bukan pemuka agama dengan umat berjumlah sejuta, dan bukan pula tokoh politik yang punya jutaan basis massa. Tapi lewat media sosial, ia tiba-tiba menjadi seorang orator ulung yang membangkitkan semangat ratusan massa untuk ... membakar vihara.
Pun mundur lagi ke belakang, dan menyimak kisah Tolikara. Dimana ada masjid yang dibakar oleh pemeluk agama lain. Informasi menyebar bak sampar. Seolah, jika tak membagikan berita soal Tolikara, kita dianggap kaum ignorant, kaum yang tak peduli akan saudara seiman. Dan media sosial, seperti yang sudah-sudah akan menjadi medan debat yang tak berkesudahan. Sementara para pegiat kemanusiaan sudah berpijak di bumi Papua, dan meretas damai di Tolikara. Masjid yang sempat dibakar, kini dibangun lebih bagus dari sebelumnya. Jauh lebih bagus bahkan. Ya, saat pengguna media sosial masih berdebat soal apakah masjid itu dibakar total, atau sebagian saja.
Di era media sosial, kisah cepat tersebar, berita lekas menjadi viral, dan kebenaran seringkali tertinggal. Kebenaran sering kalah cepat dibanding eksistensi personal, ia lumrah dipinggirkan demi pundi-pundi iklan, demi rating website. Dan pada akhirnya kebenaran tersudut kalah di pojok, terpinggir oleh egoisme pengguna media sosial yang sering galak karena virus hoax. Kebencian yang muncul, seringkali bukan soal informasi yang diterima, tapi karena faktor eksistensi diri yang semu. Kita beranggapan bahwa situs anu adalah kitab suci, dan si anu empunya fanpage adalah nabinya. Padahal ketika nabi dan kitab suci itu mengabarkan hoax, kita menolaknya dan memendam kebencian justru pada orang yang mengingatkannya.
Lantas apa yang mesti dilakukan agar media sosial kita jadi tempat yang sehat untuk menyemai khazanah perbedaan?
Jika pengalaman saya membina perkawanan dengan teman sekelas yang berbeda keyakinan itu adalah sebentuk kecil toleransi, maka izinkan saya pun membagikan proses bagaimana toleransi itu terwujud.