Jika kita menghadiri acara pernikahan / hajatan di Kecamatan Ketanggungan atau Banjarharjo dan sekitarnya sering kita disuguhkan tarian Perang Centong. Atau kita bisa melihatnya jika kita menghadiri acara Ngasa Jalawastu.
Tarian yang diperagakan oleh dua orang g menjadi suguhan welcome dance atau tarian selamat datang. Unsur beladiri terasa kental pada suguhan tarian ini. Perpaduan gerak tangan dan kaki menjadi ciri khasnya. Perangkat dapur seperti centong, kipas, kendi, kukusan nasi menjadi piranti tari.
Penari dengan iringan gamelan sunda mempertontonkan gerak tubuh cekatan dan dinamis memperebutkan kendi yang berisi telor. Ini simbol sebagai gambaran Nur atau cahaya Islam yang ditawarkan Gandawangi kepada adeknya.
Isi cerita dari tari Perang Centong adalah perang saudara antara Gandasari dan Gandawangi. Perang kesaktian antar dua saudara untuk mengabarkan kebajikan, untuk memeluk keyakinan yang baru yaitu agama Islam. Namun sang adik tidak mengindahkannya sehingga terjadilah petang kesaktian antar kakak beradik, dan dimenangkan oleh Gandasari.
Sesuai perjanjian Gandasari menetap di Jalawastu, sedang Gandawangi harus keluar dari Jalawastu dan pergi ke Baduy. Namun sebelum pergi Gandawangi menitipkan pesan kepada kakanya untuk menjaga adat budaya dan tradisi yang sudah berlangsung turun temurun. Gandawangi yang beragama Islam tetap mempertahankan tradisi leluhur sesuai janjinya, seperti yang terlihat dalam Ngasa.
Dalam acara tersebut doa keselamatan dipanjatkan untuk seluruh umat manusia dari mulai yang tertinggi sampai yang di desa dalam bahasa dan tradisi Sunda, sesuai amanat yang diminta Gandawangi. (KBC-54|Kompasioner-Brebes)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H