Tahun 5 Hijriyah atau 627 Masehi. Debu-debu beterbangan, memenuhi area parit yang mengelilingi kota Madinah. Pasukan berkuda kaum Quraisy dan para sekutunya berusaha mencari jalan untuk menembus parit tersebut. Abu Sufyan bersama para pemimpin dari bani Nadzir, bani Gathafan, bani Sulaim, bani Asad, bani Asyja', dan bani-bani sekutu lainnya terus memberikan semangat.
Hingga akhirnya, Amru bin Abdiwadd, dedengkot kaum Quraisy yang sangat ditakuti berhasil menembus parit tersebut. Ia adalah petarung yang kemampuan perangnya setara dengan seribu prajurit. Ia pun berteriak, "Siapa di antara kalian yang ingin berduel denganku?!" Ali bin Abu Thalib hendak bergerak maju, tetapi keburu ditahan oleh Rasulullah saw. Tampaknya beliau ingin ada orang lain yang mau berduel, bukan Ali.
Amru berteriak kembali, mengulang pertanyaannya. Lagi-lagi Ali hendak maju tetapi segera ditahan oleh Rasulullah saw. Namun tidak ada yang bergerak. Amru berteriak kembali dan tetap tidak ada yang bergerak, kecuali Ali yang langkahnya terus tertahan. "Suaraku menjadi serak, tetapi tidak ada yang maju. Bukankah kalau kalian mati katanya akan masuk surga sedangkan jika kami mati akan masuk neraka?"
Rasulullah saw. kemudian melepas sorbannya dan dipakaikan pada Ali. Beliau juga memberikan pedangnya pada sepupunya itu. Ali bergerak maju. "Demi Laata, aku tidak mau membunuhmu," ujar Amru. Ali berkata, "Hai Amru, kamu telah berjanji jika ada seseorang dari kaum Quraisy menawarkan salah satu dari dua perkara, maka kamu akan mengambilnya." Amru menjawab, "Benar. Apakah itu?"
Ali berkata, "Aku mengajakmu untuk taat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya." Amru pun membuang muka, "Aku tidak membutuhkan itu." Ali segera menimpali, "Kalau begitu, aku akan membunuhmu." Mendengar hal tersebut, Amru naik pitam. Ia pun segera turun dari kudanya dan menyembelih tunggangannya tersebut. Duel antara Ali bin Abu Thalib dan Amru bin Abdiwadd berlangsung dengan sengitnya.
Keduanya sama-sama menunjukkan kualitas seorang petempur sejati. Amru yang menjadi veteran pada Perang Badar tetapi tidak dapat mengikuti Perang Uhud karena luka-lukanya yang belum sembuh, ingin menebus dengan kemenangan pada Perang Ahzab atau Khandaq ini. Ia mengeluarkan segala kemampuannya. Hingga kemudian, ia berteriak kesakitan dan tubuhnya jatuh ke tanah.
Pahanya terkena sabetan pedang Ali. Tanpa berpikir panjang, Ali segera ingin menebas leher Amru, namun secara mengejutkan Amru malah meludahinya dengan wajah yang penuh ejekan. Seketika Ali menghentikan serangannya. Ia mundur beberapa langkah dan menundukkan wajahnya. Amru terkejut, begitu pula dengan kaum Muslimin yang menyaksikannya. Momen yang berkesan lama.
Hingga kemudian, Ali bin Abu Thalib berteriak lantang, "Allaaahu Akbaaar!" Sekali lagi sabetannya diarahkan pada Amru bin Abdiwadd. Pada saat itu juga Amru tewas di tempat. Peperangan terus berlanjut. Akhirnya, 24.000 pasukan Musyirikin harus mengakui kalah melawan 3.000 pasukan Muslimin. Siasat untuk menggali parit di sekeliling kota Madinah yang disampaikan Salman Al-Farisi terbukti ampuh.
Kaum Muslimin yang tadi menyaksikan duel sengit kedua petarung tersebut, penasaran dengan langkah mundur dan diamnya Ali bin Abu Thalib setelah diludahi Amru bin Abdiwadd. Ali pun menjawab, "Saat ia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku menunggu sampai lenyap kemarahanku dan kemudian membunuhnya semata karena Allah Swt."
MENAHAN MARAH ITU JAUH LEBIH BAIK
Marah adalah sifat dasar dari manusia. Semasa kecil, marah bisa diekspresikan dengan menangis atau melempar mainan. Namun, Islam mengajarkan manusia agar mampu mengendalikan kemarahan itu.