Seandainya bulan dapat berbicara seperti nikmat yang telah diberikan kepada manusia, mungkin aku sudah asyik berdiskusi dengannya. Dan seandainya bintang mampu mendengar suara hatiku dan juga diberikan nikmat berbicara seperti manusia, mungkin mereka akan beramai-ramai menghiburku. Sungguh, saat ini aku sedang menikmati kesendirianku dengan alam, agar komunitas baru tercipta dengan mesra.
Angin malam berhembus dengan perlahannya menerpa ujung-ujung syaraf wajahku dan juga menggerakkan serat-serat halus pakaianku. Lembut. Angin yang tak terlihat itu kemudian tampak menggerakkan kalender Hijriyah yang tergantung di dinding kamar. Cahaya bulan terasa menerpa wajahku, namun sinarnya kalah bersaing dengan neon kamar yang hanya mempunyai daya 18 watt.
Sesekali terdengar raungan kendaraan yang masih bergerak di jalan utama perumahan ini. Dan sekali lagi angin berhembus menggerakkan gorden jendela, tempatku berdiri menatap kejauhan malam. "Mi...!" sebuah suara mengejutkanku. Aku menoleh dan mendapatkan Bang Ghozali sudah memegang pundakku, tersenyum. Tampaknya aku terlalu kemasyuk dengan kesendirianku, hingga tak menyadari kehadiran suamiku.
"Lagi mikirin apa sih, Mi?" tanyanya berbisik. Kupegang punggung tangannya. "Kasihan Rini ya, Bi." Bang Ghozali menghembuskan nafasnya perlahan, "Semuanya sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa." Tangannya bergerak dan pindah melingkari pinggangku. "Dan kita hanya bisa bersabar atas semua ketentuan-Nya, termasuk Rini."
"Tetapi cobaan yang dihadapi Rini sangatlah berat. Perekonomian rumah tangganya baru sampai tahap perbaikan dan perjuangan. Usianya masih teramat muda untuk berjuang sendirian melindungi dan membesarkan kedua anaknya yang masih kecil." Bang Ghozali menyambung, "Entahlah. Teka-teki Allah sangat luas. Mungkin sesuai dengan tingkat keimanan Rini yang sudah tinggi."
"Tetapi cobaan yang ia hadapi tidak berhenti begitu saja, Bi," Aku berbalik dan menatap mata Bang Ghozali. Seperti biasa aku tak kuasa menatapnya terlalu lama, lalu aku berjalan ke arah tempat tidur. Duduk. "Sepertinya teman-teman pun sudah mulai menjauhinya." Bang Ghozali terlihat terkejut. Lalu mengikuti duduk di sebelahku, "Kok bisa! Memangnya ada apa?"
"Ummi tidak tahu. Tetapi Ummi memperkirakan mereka melakukan hal itu karena khawatir dengan suami mereka." Bang Ghozali menatapku, "Suami? Khawatir tentang apa?" Aku terdiam sejenak, "Tentang poligami." Pandangan Bang Ghozali tidak berubah. Bahkan terlihat bola matanya yang semakin membesar. Dan sekali lagi aku menunduk untuk bisa menghindari tatapannya.
Aku sendiri heran kenapa tidak bisa menatap matanya lama-lama. "Poligami?" bisik suamiku sendiri. Sepi sesaat. "Maksud Ummi, mereka menjauhi Rini karena khawatir suami mereka akan menikahinya?" Aku mengangguk. "Huffh...," suara hembusan Bang Ghozali terdengar perlahan. Bingung. Sesekali matanya mencoba menatapku, untuk sekedar mencari penjelasan yang logis.
CAPCAY SOSIS, RESEP SAHUR YANG #ANTIRIBET
"Ya sudahlah. Selalu rumit mengurusi masalah orang lain. Mending ngurusin masalah keluarga kita sendiri, ya kan? Mmm ... menu untuk sahur nanti apa ya, Mi?" Bang Ghozali mengalihkan pembicaraan. Seperti biasa, dia memang jago dalam hal itu. Pikiranku kemudian melayang ke dalam kulkas, menelaah barang-barang apa saja yang ada di sana. Wortel, sosis, buncis, daaan telur ayam. Kayaknya bisa dibikin....
"Mi, kok diem aja?" Bang Ghozali mengejutkan pengelanaanku. "Makan apa sahur nanti, Mi?" Aku tersenyum, berusaha semanis mungkin. "Kalauuu ... capcay sosis mau, Bi? Kebetulan di dapur ada persediaan wortel, sosis, buncis, daaan telur ayam. Anak-anak kan doyan tuh sama sosis. Sederhana bahan-bahannya, begitu pula cara buatnya. Gak pake ribet lah pokoknya." Aku langsung memegang tangan Bang Ghozali lembut.