Lihat ke Halaman Asli

Bang Aswi

Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Tradisi Munggahan Menjelang Ramadan di Bandung

Diperbarui: 10 Mei 2019   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Sosok itu menengadahkan kepalanya ke atas. Awan-awan putih masih bergerak perlahan, menyapu warna biru langit menjadi lebih hidup. Angin berhembus tidak kencang, menggerakkan helai-helai rambutnya, terasa agak dingin di tengkuk. Pohon-pohon seakan bertasbih. Rerumputan berzikir. Marhaban ya Ramadan.

Ramadan yang entah ke berapa kali dalam hidupnya. Apakah hitungannya dimulai sejak dia lahir ataukah dihitung sejak dirinya aqil baliq. Wallahu'alam. Yang pasti, telah 25 tahun dia menjejakkan kaki di Kota Bandung sebagai pendatang, tanpa saudara dan kawan yang dikenal. Sekarang, kehadirannya takbisa lepas dari kota ini.

Bandung dengan kreativitasnya, yang seolah takpernah berhenti. Kota yang saat dirinya menjejakkan kaki di Stasiun Bandung, langsung memberikan salam selamat datang. Lalu memeluknya saat melewati daerah belakang Gedung Sate. Perempuan manis berseragam putih abu-abu tersenyum manja. Dia jatuh cinta.

Pada saat itulah dia berazzam, "Saya akan tinggal di sini. Berkeluarga di sini. Membangun rumah di sini. Tidak hanya sekadar kuliah." Sosok itu tersenyum bahagia bahwa setelah berpuluh tahun, azzamnya terbukti nyata. Panggilan 'Abang' ternyata tidak membuat dirinya berjarak akan logat Sunda. Bang Aswi dan Bandung. Ngahiji.

YUK, MENGENAL SEJARAH MUNGGAHAN
Ramadan dan Sunda pada akhirnya akan mengerucut pada beberapa istilah yang khas. Istilah yang hanya ditemukan di Tanah Pasundan dan hanya terjadi menjelang Bulan Ramadan. Satu istilah yang begitu populer adalah 'munggahan'. Istilah lain yang juga populer dan hanya terjadi saat Ramadan adalah 'ngabuburit'.

Apa itu Munggahan? Munggah itu artinya naik. Bergerak dari tempat yang biasa ke tempat yang lebih tinggi. Apa yang naik? Beberapa menyatakan bahwa warga yang tinggal di daerah pesisir pantai beramai-ramai ke dataran tinggi berupa bukit atau gunung. Lalu mandi atau bebersih di curug (air terjun).

Tidak heran kalau tradisi 'keramasan' juga masuk dalam budaya Muslim Sunda. Pendapat lain menyatakan bahwa masyarakat Sunda itu terstruktur dari kelompok atas (hinggil) hingga kelompok bawah (handap). Kelompok atas merupakan generasi pambajeng (anak pertama dan kedua) yang menetap di wilayah kampung.

Kampung-kampung Sunda biasanya berada di atas bukit/gunung. Sedangkan kelompok bawah adalah generasi anak ketiga hingga ke bungsu yang kemudian memilih merantau atau menetap di luar kampung. Kelompok hinggil memiliki peran penting untuk menjaga kelangsungan orisinilitas budaya leluhur. Dekat dengan Tuhan.

Bulan Sya'ban yang dalam budaya Sunda disebut Bulan Ruwah diyakini menjadi momen penting berkumpulnya ru(wa)h para leluhur. Oleh karena itulah bulan tersebut dipandang penting agar semua anggota keluarga berkumpul. Dan biasanya, kelompok handap akan pulang kampung dan bertemu kelompok hinggil.

Proses dari handap ke hinggil inilah yang kemudian disebut 'munggahan'. Bergerak dari bawah ke atas. Dari yang awalnya kurang dekat dengan Tuhan, berusaha mendekati Tuhan. Menambah ibadah. Mengumpulkan banyak pahala. Berkumpulnya semua anggota keluarga ini ditandai dengan makan bersama (botram).

Botram ala Sunda itu adalah dengan menggelar daun pisang di bawah. Panjangnya daun pisang bergantung pada jumlah anggota keluarga yang hadir. Nasi, lauk-pauk, dan lalaban dikumpulkan semua di atasnya. Kelompok hinggil duduk bersama dengan kelompok handap. Orangtua dan anak-anak duduk sejajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline