Lihat ke Halaman Asli

Bang Aswi

Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Langkah Panjang ke Tebing Karaton

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di depan Warban pada 2005 dan tebing di Dago Pakar

Tebing Karaton sudah mainstream. Bahkan, sebagai pesepeda yang sudah merasakan segarnya hawa perbukitan di daerah Dago pada 2005, Warung Bandrek atau Warban adalah tujuan utamanya. Bersepeda di Bandung tidak lengkap dan tidak dianggap kalau belum pernah menjajal trek ke Warban. Nah, gara-gara Tebing Karaton inilah suasana di Warban menjauh jauh berbeda. Kini bisa dilihat khususnya kalau hari Sabtu atau Minggu, Warban telah berubah fungsinya menjadi tempat parkir kendaraan bermotor beroda dua maupun empat. Memang parkir sepeda makin meluas dan begitu pula tempat kongkow-kongkownya, tetapi sepi melompong. Hanya satu dua pesepeda saja yang masih ke Warban pada dua hari tersebut. Jalan menuju ke sana makin rusak dan parah.

Warban 2005, hanya ada satu warung. Janda penjaga warung menjadi favorit saat itu karena kecantikannya. Dan kabarnya sekarang dia sudah kaya dengan rumah gedong. Wallahu'alam. Semua pesepeda yang awalnya tidak saling mengenal menjadi akrab di sana. Perjalanan dari Warban bisa selesai dengan kembali pulang melewati Dago atau bisa dilanjutkan ke atas menuju Lembang/Maribaya atau ke Padasuka/Cartil. Jalur ekstrem bagi para pesepeda adalah tanjakan putus asa yang berakhir di Warung Nangka. Jika pada 2005, Warung Nangka masih berupa pertigaan jalan yang sepi, kini telah berkembang menjadi tempat yang ramai dengan beberapa warung di sana. Kalau melihat kondisi jalan yang rusak parah menuju Warban, maka sekarang lebih banyak pesepeda yang lebih memilih berhenti di Warung Nangka saja.

Paling tidak, karena alasan mainstream itulah Kompasianer Bandung alias #KBandung berinisiatif untuk mencoba jalur dari arah Pasanggrahan (7/6/2015). Artinya dengan mengambil jalur yang berbeda, semoga perjalanan menuju Tebing Karaton menjadi tidak terlalu mainstream yang katanya ada jebakan betmen ala tukang ojeg dan lain sebagainya. Anggota KBandung selain sosok itu dan kedua putrinya, ada juga Kang Fajar sang penunjuk jalan bersama Bunda Intan, beserta Susanti dan Euis. Dari pihak Kompasiana ada Mbak Wawa yang begitu bersemangat. Jadi, pada persimpangan Bumi Herbal, rombongan KBandung berbelok ke kanan hingga sampai bertemu sebuah kompleks mewah yang ditutup rapat. Entah apa namanya.

Jalan kaki yang menanjak dengan harus mempersiapkan mental bertemu dengan anjing-anjing yang menggeram dan menggonggong, biarlah kafilah KBandung berlalu. Alih-alih menenangkan diri karena pernah trauma dengan anjing, sosok itu malah harus menggendong Adik Anin yang malas berjalan. Double fiuh pokoknya. Dari arah komplek tersebut, mereka berbelok ke kiri memasuk jalan setapak berupa tanah hingga bertemu gang yang sudah disemen. Melewati perumahan penduduk yang naik turun, bertemu beberapa pemandangan yang indah, kandang-kandang bersuara mbek dan mooo, air pancuran yang menyegarkan, hingga akhirnya jalan turunan maupun tanjakan yang luar biasa ekstrem. Dengan kemiringan sekira 45 derajat tentu harus berhati-hati. Dan di akhir perjalanan ternyata ada 113 anak tangga yang harus didaki. Jumlah itu didapat setelah Kakak Bintan berinisiatif menghitungnya. Ujungnya adalah tepat di seberang pintu masuk Tebing Karaton. Mantaps!

Cadas Jontor yang kini lebih dikenal Tebing Karaton

Perjalanan itu jelas amat membekas karena toh menikmati pemandangan di Cadas Jontor alias Tebing Karaton itu hanya sesaat. Pemandangan di Tebing Karaton memang indah. Subhanallah. Gak heran kalau warga kota begitu berlomba-lomba menuju tempat ini. Namun, meski sudah dipagar rapi, tetap saja ada banyak pengunjung yang memaksakan diri memanjat pagar dan turun ke bawah tebing. Niatnya tidak ada yang lain kecuali mendapatkan spot bagus untuk berfoto. Amat disayangkan, mempertaruhkan nyawa demi selembar foto bagus. Padahal sudah jelas bahwa ada beberapa peraturan di Tebing Karaton yang tidak boleh dilanggar. Salah satunya adalah dilarang duduk atau bersandar di pagar pembatas. Aturan lainnya yang disusun oleh Pak Ase Sobana selaku warga setempat yang memberi nama Tebing Karaton (bukan Keraton), adalah:

  1. Buanglah sampah pada tempatnya yang telah kami sediakan.
  2. Jaga diri masing-masing / hati-hati.
  3. Jangan gaduh, jangan berdesak-desakan.
  4. Jangan melewati pagar, ikuti aturan pemandu.
  5. Batas waktu jam 05.00 s/d jam 18.00.
  6. Jangan kencing sembarangan!!!! (Percaya atau tidak, kami hanya mengingatkan)

Tempat sampah yang dibiarkan hingga sosok itu berinisiatif merapikannya

Paling tidak perlu diingat bahwa Tebing Keraton ini adalah kawasan wisata yang rawan longsor, curam, dan terjal. Plang kuningnya terpasang besar dengan latar kuning. Sedangkan Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Dinas Kehutanan Pemprov Jawa Barat, membuat plang tata tertib yang berisi 1) Pengunjung wajib membeli karcis tanda masuk Tahura Ir. H. Djuanda, 2) Jam kunjungan mulai pukul 05:00 sampai dengan pukul 16:00 WIB, 3) Pengunjung dilarang menuruni tebing, 4) Dilarang membawa senjata tajam, miras, narkoba, membuat keributan, dan melakukan corat-coret di dalam kawasan, dan 5) Dilarang mengambil, merusak tumbuhan, menangkap satwa di dalam kawasan. Semuanya sudah tertulis dengan jelas, hanya masih banyak yang tidak bisa membaca atau pura-pura buta.

Beberapa oknum pengunjung yang punya 1000 nyawa

Tebing Karaton boleh jadi sudah mainstream, tetapi jalan menuju ke sananya tidak. Bagi yang ingin mencobanya bisa dimulai dari Ciburial, nanti dari Pesantren Babussalam belok ke kiri, lalu mengikuti jalan hingga sampai Warung Nangka. Lalu dilanjut menuju Warban hingga mengambil jalan ke kanan. Cerita di Tebing Karaton sudah pasti seragam karena fotonya memang cantik-cantik tetapi perjalanan menuju ke sana bisa jadi memiliki kesan yang jauh lebih mendalam. Dan kalau kaki sudah pegal-pegal alangkah baiknya langsung memanggil tukang urut atau langsung rendam saja dengan air hangat dicampur garam hehehe. Oya, rombongan #KBandung ini langsung segera kembali ke Pesantren Babussalam karena ingin mengambil ilmu kepenulisan dari Kang Pepih Nugrah, sang pendiri Kompasiana.[]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline