Sudah lebih satu tahun situasi pandemi hadir dalam kehidupan kita. Angka penularan terlihat menurun, tetapi belum ada kejelasan bilamana akan berakhir. Begitu juga angka probabilitas kesembuhan terus meningkat, akan tetapi tiap hari terus ada angka penularan. Setiap hari terus ada pasien baru yang terinfeksi.
Berbagai perubahan perilaku dan penyesuaian lingkungan, sebagai bentuk adaptasi manusia, telah dilakukan. Sebuah mekanisme yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan dan penghidupan makhluk hidup. Menggunakan masker, menjaga kerbersihan tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas; sudah dilakukan.
Ini Ramadhan kedua yang kita jalani bersama pandemi. Jika tahun lalu saya masih berharap dapat merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga besar, sekarang saya berpikir realitis dengan akan kembali harus merayakan lebaran bersama keluarga kecil saja. Media komunikasi daring akan kembali menjadi alat utama untuk menghapus kerinduan dengan keluarga besar.
Selain sadar tidak memungkinkan merayakan lebaran dengan berkumpul ramai, ada beberapa hikmah yang saya dapatkan di awal puasa saat ini:
- Kedekatan bisa dilakukan walaupun tubuh fisik berjauhan
Sebelum pandemi saya mengunjungi orang tua setidaknya sekali dalam satu pekan. Kebetulan kami masih bertempat tinggal di satu kota. Bertemu dengan mereka, menikmati masakan yang ada di atas meja, membicarakan banyak hal sampai mendapatkan nasihat dan masukan, menjadi aktifitas saya saat itu. Ternyata esensi pertemuan tersebut dapat dilakukan melalui media daring. Mengetahui mereka sehat dan semua aktifitas berjalan lancar, itu yang membuat saya tenteram. Jika sebelumnya rasa tenteram didapatkan sekali dalam sepekan, sekarang tiap hari bisa didapatkan melalui panggilan gambar. - Keluarga yang tak terganti
Kondisi bekerja di rumah, bagi saya dan istri, ternyata membawa kedekatan sendiri. Sebelum pandemi, jarang rasanya kami bisa sarapan bersama. Saat pandemi kami bisa menentukan sarapan apa sebelum kegiatan profesional dilakukan. Pada saat Ramadhan ini, istri mengusulkan untuk membenahi satu ruang untuk kami bekerja dari rumah. Namun untuk saya, tampaknya resep-resep terlihat menantang untuk diwujudkan menjadi masakan.
Begitupun dengan anak balita kami. Di Ramadhan kali ini kami bisa mulai mengajarkannya konsep berpuasa. Kemarin sore kami menyertakannya saat berbuka-puasa pertama. Awalnya dia terheran-heran, mengapa kami berkumpul menunggu waktu Maghrib tiba. Namun akhirnya, dia pun larut menyantap makanan yang tersaji di depannya. - Waktu luang untuk refleksi diri
Ramadhan di rumah, menyediakan banyak waktu luang melakukan kontemplasi atas perilaku, sikap, dan rasa saya selama ini. Setiap selesai beribadah, ada saatnya saya berpikir, "Bagaimana caranya agar saya menjadi lebih baik?", "Apa indikator ketika saya telah melakukan kebaikan?", atau "Apa yang seharusnya saya lakukan jikakalu menghadapi kondisi tertentu?". Saya mempunyai waktu untuk menelaah kitab suci atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. - Kesempatan untuk menyempurnakan ibadah
Di rumah, sangat memungkinkan bagi kita untuk tetap menjaga waktu ibadah tepat pada waktunya. Jika sebelumnya masih banyak yang tertinggal, saat ini saya dapat mempriotitaskan waktu untuk ibadah dengan mengatur jadwal kegiatan lain. Ramadhan ini saya berencana untuk disiplin beribadah di waktu awal. Kemungkinan ini tidak terlepas dari berkurangnya kesibukan jika dibanding Ramadhan tahun lalu. - Belajar dan kembali belajar
Satu lagi yang saya rasakan di Ramadhan kali ini, adalah kesempatan belajar yang sangat banyak. Jika rajin menelusuri, banyak pihak menawarkan berbagai macam pelatihan aktivitas yang dapat dilakukan di rumah, mulai dari memasak, bercocok-tanam, sampai dengan keterampilan teknologi.
Tahun ini saya berencana untuk mendalami keterampilan data science sampai dengan visualisasi data. Sebelumnya saya telah memiliki spesialisasi dalam pengembangan instrumen pengukuran. Hal ini tentu akan menjadi nilai pembeda dengan yang lain. Dengan bermodal gawai yang ada, saya yakin di tengah tahun, keterampilan saya sudah mumpuni. Kemudian dilanjutkan dengan mencari konsumen yang membutuhkan keahlian tersebut.
Ramadhan tahun lalu telah memberikan pelajaran bagi saya, lakukan yang terbaik dengan apa yang ada, termasuk waktu. Tahun lalu saya optimis jika pandemi akan cepat selesai, sehingga membuat saya tidak segera merubah pola pikir untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Ramadhan kali ini saya jadikan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan dengan cara baru, saya sebut sebagai "New Normal Ramadhan".
Marhaban ya Ramadhan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H