Lihat ke Halaman Asli

Bupati Bermain Api dengan Tetapkan UMK Tinggi

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

“UMK tertinggi di Jabar, mau diterusin?” Begitu bunyi satu poster kampanye kandidat incumbent Pilkada Kabupaten Bekasi. Sidang pembaca tentu tahu maksud poster itu. Secara tersirat poster itu menyatakan bahwa UMK tinggi di Bekasi adalah “hasil perjuangan” calon tertentu. Politisasi penetapan UMK jadi terang benderang.

Seperti harga, upah itu idealnya hasil kesepakatan antara “penjual” dan “pembeli”. Sebagai penjual jasa, buruh boleh pasang harga tinggi. Sebaliknya, silakan menawar harga jasa (upah) yang ditawarkan buruh. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi proses tawar-menawar itu. Untuk memperkuat posisi tawar buruh, pemerintah perlu menyediakan informasi mengenai besaran biaya untuk hidup layak.

Tugas utama pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk – termasuk buruh dengan upah atau gaji. Walaupun berkaitan, upah dan kesejahteraan adalah dua persoalan berbeda. Lebih lagi, upah hanya menyangkut sebagian kecil pekerja. Pemerintah bisa menaikkan kesejahteraan penduduk (termasuk buruh) dengan menyediakan fasilitas hidup murah dan berkualitas. Bagaimana biaya transport bisa murah jika jemputan tidak boleh masuk ke jalan-jalan tertentu, tukang ojek seenaknya membatasi waktu operasi angkot?

“Ongkos bekerja” menjadi mahal karena pemerintah memfasilitasi preman2  menjadi calo tenaga kerja. Dengan dalih “mendahulukan penduduk sekitar”, recruitment tenaga kerja harus melalui preman yang mengutif uang dalam jumlah besar kepada pencari kerja. Untuk mendapat pekerjaan tidak jarang, pencari kerja harus bayar satu sampai dua juta rupiah kepada calo.

Penetapan upah minimum lebih tinggi adalah baik bagi buruh formal (buruh dengan upah atau gaji tetap) tetapi tidak adil bagi buruh informal. Jika harus bayar upah di atas produktivitas buruh, pengusaha bisa mengurangi penggunaan jasa buruh atau “tutup toko” sekalian. Akses masuk ke pasar kerja formal otomatis berkurang. Itu sebabnya, tingkat upah minimum perlu dirundingkan oleh perusahaan dan buruh agar demand for labor tidak terganggu.

Penetapan upah sejatinya sudah diatur cukup rapi. Upah minimum ditentukan ditentukan oleh para pihak yang bekepentingan: buruh-pengusaha-pemerintah. Pemerintah selayaknya bersikap netral dalam proses perundingan tersebut. Sikap netral adalah yang paling optimal bagi kepentingan makro di daerah: pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja daerah. Namun adakalanya “pimpinan daerah” punya kepentingan lain. Sementara buruh dan pengusaha berunding, “pimpinan daerah” dapat menetapkan upah minimum versinya sendiri.

Tindakan anarkis buruh yang terjadi baru-baru ini di Cikarang berawal dari pilitisasi upah minimum. Buruh melakukan demo karena pengusaha tidak mau menjalankan Keputusan Gubernur tentang UMK Bekasi. Pengusaha tidak mau melaksanakan keputusan tersebut (menggugat ke pengadilan) karena UMK yang diusulkan oleh Bupati belum disepakati oleh pengusaha. Seandainya UMK yang diusulkan Bupati kepada Gubernur merupakan hasil kesepatakan bersama, tidakan anarkis tersebut tidak akan terjadi.

Kebijakan “pimpinan daerah” Bekasi tersebut dapat dikatakan tindakan “bermain api”. Kita bisa saja berpendapat UMK Bekasi yang diusulkan tersebut masih jauh dari layak. Due process penetapan UMK itu bermasalah dan itu yang perkarakan oleh pengusaha. Pelajaran berharga dari kasus ini adalah “biaya sosial kebijakan populis akan selalu terlalu mahal”. Melihat dua pasangan kandidat lain pada Pilkada Bekasi 2012 ini, besar kemungkinan incumbent bakal kepilih lagi. Kemenangan itu bisa diraih sonder bikin jalan pantura macet parah sehari penuh.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline