Lihat ke Halaman Asli

Sumpah Janji Pejabat Publik...Apakah Masih Harus Dipermasalahkan?

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SUMPAH GUBERNUR :
Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban saya sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Memegang teguh UUD Negara RI 1945 dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti pada masyarakat, nusa dan bangsa. (http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2013/bn824-2013lamp.pdf)

SUMPAH MENTERI KIB II :
Saya bersumpah, bahwa saya, untuk diangkat pada jabatan ini, langsung atau tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau menjanjikan, ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.

Saya bersumpah, bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali menerima dari siapapun juga, langsung ataupun tidak langsung, sesuatu janji atau pemberian

Saya bersumpah, bahwa saya, setia kepada UUD Negara Republik Indonesia19945 dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.

Bahwa saya, dengan sekuat tenaga akan mengusahakan kesejahteraan Republik Indonesia,
Bahwa saya akan setia pada nusa dan bangsa dan akan memenuhi segala kewajiban yang ditanggungkan kepada saya oleh jabatan ini.
Bahwa saya akan menjalankan tugas dan kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara. (http://www.beritasatu.com/nasional/14104-lafal-sumpah-menteri-dan-wakil-menteri.html)

SUMPAH ANGGOTA DPR :
Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan eraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-3)

Di atas adalah teks Sumpah Jabatan beberapa Pejabat Publik yang saya kutip dari beberapa sumber. Selama drama Pilpres ini berlangsung, kita sering disuguhkan pernyataan-pernyataan yang memojokkan salah satu Capres yang seolah-olah mengingkari Sumpah Jabatannya. Saya hanyalah masyarakat awam yang berpengetahuan terbatas, tapi saya ingin mencoba mengulas sesuai dengan sudut pandang dan pemikiran saya, mohon koreksi dari Pembaca apabila ada kekurangannya.

Mari dengan pikiran jernih coba kita telaah bersama-sama. Sumpah Jabatan bagi Pejabat Publik baik dimulai dari Bupati / Walikota, Gubernur, Menteri, Presiden dan Wapres, DPRD, DPR secara umum mempunyai substansi yang sama bahwa atas nama Tuhan YME yang bersangkutan akan menjalankan Jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan bertanggung jawab terhadap Jabatan yang diembannya.

Sebelum drama Capres ini dimulai, sebenarnya sudah banyak kita saksikan secara nyata Pejabat-pejabat Publik yang melakukan 'Loncat Jabatan' dari satu Jabatan ke Jabatan yang lain, baik di level eksekutif, legislatif, bahkan sampai dengan yudikatif. Apakah dengan seperti itu kita bisa menjatuhkan vonis bahwa Pejabat yang bersangkutan tidak amanah...??? Melanggar Sumpah Jabatan...??? Kalaupun ada, apa yang menjadi standar kita dalam menjatuhkan vonis...???

Kalau kita bicara sebagai bangsa yang berlandaskan hukum, tentu saja kalau mau menjatuhkan 'vonis' kita harus mempunyai landasan-landasan hukum yang kuat dan tidak boleh berstandar ganda. Hakim sendiri dalam menjatuhkan keputusan juga tidak boleh lepas dari landasan hukum dengan diikuti pertimbangan-pertimbangan sebelum mengambil keputusan, diantaranya adalah alat-alat bukti sekurang-kurangnya 2 (dua), adanya persesuaian, adanya unsur kesalahan (schuld) dan yang terakhir unsur melawan hukum (wederrechttelijkheid).

Kita sebagai warga negara yang baik harusnya berpikir lebih arif dan bijaksana terutama dalam memberikan komentar-komentar, terutama yang hanya bersumber dari subyektifitas semata, termasuk yang hanya bersumber 'menurut ini'...'menurut itu'...'kata si A'...'kata si B'...tanpa disertai data-data obyektif. Dalam drama Pilpres ini, ada beberapa pihak yang berkomentar yang intinya adalah salah satu Capres tidak amanah karena tidak menepati janji masa jabatannya sebagai Pejabat Publik...entah karena kecintaan Pihak yang berkomentar terhadap Pejabat yang bersangkutan, atau semata-mata ingin menjatuhkan kredibilitasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline