Lihat ke Halaman Asli

Yang Sakral dan Yang Profan: Mengingatkan Kembali

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pebahasan Mircea Eliade tentang Yang Sakral dan Yang Profane dalam kajian agama telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi agama dan para pengikut agama, namun dia gagal untuk menjelaskan bagaimana kedua entitas itu terhubung secara social. Bagi Eliade, penjelasan tentang agama harus mengacu pada pengalaman manusia yang beragama itu sendiri. Manusia memiliki pengalaman yang sulit dijelaskan karena berkaitan dengan sesuatu Sakral dan Profane. Kedua konsep ini memiliki kekhasan tersendiri di tangan Eliade. Pemikiran ini sangat berbeda dari pemikiran para pendahulunya yang telah membuat aspek ekonomi, social, sosiologi, psikologi dan political suatu masyakarat sebagai acuan dalam mempelajari agama. Dengan kata lain, bagi Eliade, agama adalah hubungan atau pengalaman manusia dengan Yang Supernatural. Namun, pemikiran seperti ini cenderung menegaskan bahwa agama adalah suatu realitas yang private.

Bagi Eliade, agama harus diposisikan sebagai sesuatu yang konstan sedangkan aspek kehidupan lain, seperti social, psikologi, ekonomi mesti tergantung pada agama. Pemikiran ini menjadi sangat penting ketika dibandingkan dengan pemikir agama lainnya. Mereka seperti Karl Marx, Durkheim, Sigmund Freud telah melihat agama dari salah satu aspek hidup manusia tertentu. Karl Marx melihat agama dari fenomena ekonomi dalam masyarakat Eropa. Menurut Eliade, pendekatan yang seperti itu telah membuat agama menjadi sangat sempit dan salah besar. Dengan membuat agama sebagai variable yang independen yang demikian, Eliade berhasil menjelaskan dua unsure yang mendasari agama itu sendiri: Yang Sakral dan Yang Profane. Yang Profane adalah bidang kehidupan sehari-hari yang sering dilakukan secara teratur, acak dan sebenarnya tidak terlalu penting sementara Yang Sakral adalah wilayah yang supernatural, sesuatu yang ekstraordinary, tidak mudah dilupakan dan sangat penting. Dengan kata lain, Yang Profane tidak menjadi penentu utama dalam hidup manusia sementara Yang Sakral menjadi penentu keberadaan manusia. Konsep ini sangat berbeda dengan pemikiran Durkheim yang telah melihat keduanya berdasarkan kesepatakan bersama dalam suatu masyarakat.

Gagasan Eliade ini memberikan kontribusi besar dalam kehidupan beragama dan bagi agama itu sendiri. Di tengah gempuran rasionalitas abad modern yang telah menolak dan meruntuhkan aspek irrasional agama, pemikiran tentang Yang Sakral dan Yang Profane menjadi sangat penting. Agama bukanlah suatu entitas yang hanya bisa diterima oleh nalar. Agama mengandung unsure-unsur adikrodati yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Di samping itu, pemikiran ini semakin memperjelas bahwa agama merupakan respon terhadap yang sacral itu sendiri. Eliade memberikan banyak contoh terhadap defenisi ini. Dalam realitas agama saat itu pun, pemikiran ini dapat menemukan banyak contoh konkrit. Upacara kurban pada bulan suci Ramadan menjadi contoh yang sangat jelas bagaimana umat Muslim dengan jelas menjaga relasinya dengan Allah. Allah merupakan entitas yang sangat sacral yang di dalam-Nya berasal keteraturan, kesempurnaan karena Dia adalah Sempurna.

Konsep yang ditawarkan oleh Eliade juga memberikan kontribusi yang sangat besar pada zaman sekarang ini. Di tengah gempuran globalisasi dan modernisasi peradaban, hal-hal yang supernatural semakin ditinggalkan oleh banyak orang. Pengalaman spiritual menjadi sesuatu yang layak dan harus dihindari. Situasi ini membuat para pratisi keagamaan menjadi kelabakan karena agama dipandang oleh masyarakat hanya sebagai institusi belaka. Pemikiran dan penjelasan Eliade tentang Yang Sakral dapat membantu para praktisi agama untuk menegaskan bahwa Yang Sakral itu masih tetap berperan dalam hidup manusia. Yang Sakral bukan sesuatu pemberian dari manusia. Karakter Sakral yang ada di dalamnya bukan disebabkan oleh kesepakatan seperti yang dijelaskan oleh Durkheim.

Kontribusi lainnya dapat diarahkan kepada para pemikir keagamaan. Eliade berhasil mendorong para sejarawan agama untuk berusaha melampaui tugas-tugas ilmiah belaka mereka. Dengan tidak terbatas pada penelitian, para scholars juga diharapkan untuk dapat memahami makna pengalaman religius yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk sejarah yang berbeda. Cara Yang Sakral ini memanifestasikan dirinya oleh Eliade disebut dengan terminology “Hierophany”. Kata ini berarti Yang kudus memanifestasikan diri di suatu tempat dan ini digunakan untuk menunjukkan kisah pewahyuan atau manifestasi dari Yang kudus.Gagasan ini dengan jelas menekankan aspek ketunggalan dari Yang Kudus itu. Yang Kudus bukan sesuatu yang berasal atau dibentul oleh manusia seperti mitos. Yang Kudus itulah yang memanifestasikan dirinya tanpa dipengaruhi pandangan manusia atau kesepakatan manusia itu sendiri.

Akan tetapi, dari semua bangunan pemikiran Eliade ini, ada satu pikiran kritis terhadapnya yaitu dukungannya secara tidak langsung pada reduksi agama sebagai pengalaman individual semata. Memang bagi dia Yang Sakral itu memanifestasikan diri kepada manusia. Dan bagi dia, manusia yang mendapat anugerah itu adalah manusia yang tertentu atau yang ditentukan oleh Yang Sakral itu. Dalam hal ini, Eliade nampaknya gagal untuk menjawab apakah Yang Sakral bisa memanifestasikan dirinya kepada sekelompok orang sehingga mereka memiliki konsep yang sama tentang Yang Sakral? Kekurangan ini membuat orang dengan mudah mengklaim diri sebagai seorang religius tanpa memperdulikan bagaimana pandangan orang terhadapnya. Kecenderungan yang muncul dari fenomena ini adalah munculnya kesombongan spiritual. Dengan kata lain, Yang Sakral hanya pengalaman private. Legitimasi atas Privatisasi Agama.

Pemikiran Mircea Eliade terhadap fenomena keagamaan telah memberikan dampak besar dalam perkembangan teori agama. Argumentasinya sangat mendasar karena berkaitan langsung dengan apa yang sering dialami oleh penganut agama. Hanya saja, pemikiran ini perlu dikembangkan lagi dalam kaitannya dengan perubahan zaman yang semakin meninggalkan agama sebagai suatu sarana manusia untuk berhubungan dengan Yang Sakral.

Daniel L Pals, Seven Theory of Religion, pg. 231.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline