Lihat ke Halaman Asli

Akidah Politik dan Politisasi Akidah

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masih
dalam suasana riak politik menjelang pilpres 2014, berita-berita di media baik
cetak maupun elektronik ramai dengan pembicaraan pasangan capres-cawapres,
Jokowi-JK dan Prebowo-Hatta. Bahkan media sosial tak luput dari panasnya
suasana politik, saling memuji, saling mencela masing-masing jagoannya. Akidah politik
diperjuangkan dengan saling mengobral puji-pujian dan caci maki. Masing-masing
kandidat sudah punya julukan tak resmi dari kubu pendukung lawan. Dari kubu
pendukung Prabowo menyebut Jokowi sebagai capres boneka, sedangkan dari pembela
Jokowi mengungkit-ungkit masalah rumah tangga Prabowo dan lain-lain, dan
lain-lain.

Akidah politik memang sah-sah saja untuk diperjuangkan,
karena kepercayaan akan hal itu adalah suatu yang niscaya di negara demokrasi
seperti Indonesia ini. Akan tetapi, diperlukan batasan-batasan sikap agar
akidah yang dipercaya tidak menjelma layaknya agama.Jika hal ini dibiarkan
terus berlanjut, maka suhu politik akan semakin mendidih dan puncaknya adalah
dendam kesumat yang tak berujung.

Fanatisme akidah politik seperti itu, sudah ada sejak 14
abad yang lalu pada peristiwa perang siffin di tahun 37 H/ 658 M antara kubu ‘Ali
dan kubu Mu’awiyah. Akibat dari akidah politik yang sangat berlebihan,
dampaknya berimbas pada politisasi akidah hingga saat ini. Dari peristiwa ini
kemudian bermunculan sekte-sekte akidah islam: Sunni selaku pendukung Mu’awiyah,
Syi’ah sebagai pendukung fanatik ‘Ali, dan khawarij yang merupakan kelompok
pembelot dari kedua kubu dan mengkafirkan dua kubu yang berseteru. Hingga saat
ini, dendam fanatisme dari tiga kelompok ini masih tersisa di intern umat
islam. Padahal, baik ‘Ali maupun Mu’awiyah adalah sama-sama sahabat Nabi yang
baik, tidak saling bermusuhan. Para pengikut fanatik lah yang harus menanggung
beban benci hingga saat ini.

Sejarah membuktikan bahwa akidah politik yang terlalu
berlebihan akan berakibat fatal. Dampaknya dapat membekas hingga berabad-abad
lamanya. Hingga berujung pada politisasi akidah seperti yang terjadi di antara
Sunni-Syi’ah saat ini. Bermula dari fanatisme politik, menjadi fanatisme
madzhab teologi agama.

Oleh karena itu,
saya menyarankan untuk tidak melakukan caci-cacian politik. Memberi dukungan dengan
saling memuji, sportif dan positif akan berdampak baik untuk menjaga suhu perpolitikan
tetap stabil dan sehat. Semoga pilpres kali ini diwarnai dengan semangat
perubahan untuk menjadi bangsa Indonesia yang kuat, berdikari, bermartabat dan
sejahtera. Kita telah bosan dengan janji-janji kosong, bekerja dan bekerja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline