Barangkali inilah politik absurd yang pernah ada di muka bumi. Penggunaan kemudaan yang paling ganjil yang dipakai untuk sebuah pertempuran yang paling mortal (mortal combat).
Gibran sedang memeraninya dengan keberaniannya yang bergantung di langit, sebuah mosaik langit politik dari politik kelanjutan dari pemilihan presiden 2019 yaitu politik yang paling identitas.
Barangkali inilah sebuah solusi dari antisolusi, dari sebuah peradaban negri menuju tanah emasnya yang tak henti terbelah. Terdeskripsi secara samar bahwa Gibran berada di dalam hero dan anti hero, di kolam martir dan anti matir, di muka cermin dan anti cermin
Mestinya cara begini diakhiri, membuat polarisasi baru untuk mengganti cara memusnahkan polarisasi yang sudah mendarah daging.
Bau enggak sedap pemaksaan instan Gibran itu menerbitkan satu polarisasi fenomena gunung es generasi muda. Gibran seperti obat mujarab di tengah generasi muda yang lebih dekat dengan medsos dan generasi tua yang tiba-tiba menemukan generasi muda sebagai mainan baru.
Aku teringat pertemuan Koalisi Besar di Istana Presiden bulan Mei yang lalu, enam partai pendukung kabinet Indonesia maju minus Partai Nasdem, rasa-rasanya menyeruak kembali.
Mungkin inilah Koalisi besar part two, setelah vakum yang ternyata tidak pernah juga tertidur.
Setelah membelah tajam menjadi kubu KKIR dan Kubu PDIP, lalu sempat menjadi fenomena dua putaran yang terus bergelinding liar menjadi satu poros, Prabowo-Ganjar atau Ganjar Prabowo.
Akhirnya mulai mengkristal menjadi dua poros di titik deklarasi bakal Capres Ganjar Pranowo, sementara satu poros Amin sudah melaju di depan.
Tapi masih ada seberkas sinar, yaitu eksaminasi material usia capres dan cawapres kepada Mahkamah Konstitusi, sementara jalur relawan sudah lebih bergerak maju ketimbang penggerak grass root ofisial.