Luna membuka buku-buku jarinya yang memerah. Bukankah darah? Tapi dia tidak menggubrisnya. Tanpa rasa sakit dan tidak bisa dijelaskan, lalu dia mengabaikannya.
Nanti juga hilang sendiri! Kata hatinya. Jika dia berjabat tangan.
Luna duduk di tepi kayu jendela, yang menghadap jalan, matahari masih berusaha menembus hujan yang tebal. sehingga mobil-mobil di jalan berwarna lebam.
Luna memegang telpon, dia menunggu panggilan masuk, biasanya jam-jam segini.
Tak lama selulernya bergetar tapi dia tak mengusapnya, dia menunggu sampai getar keduabelas.
Pas di duabelas , scroll up. Luna menyingkap rambut dari telinganya, melekatkan gajet rapat. Telepon tidak menjawab, diam tanpa nafas, terasakan licik dan kejam.
Luna menutup selpon dan kembali membuang mata ke kaca jendela, hujan masih lebat.
Hari kedua selfon bergetar, itu berarti jadual kunjungan ayah yang tidak dapat dijelaskan , pokoknya pemberitahuan dua hari.
Luna bersiap meraut muka, kulitnya bule, agak memucat, dia memolesnya jadi sedikit benderang. Cantik, seperti selebriti. Lalu kembali duduk melawan jendela basah.
Ayah selalu datang dalam hujan. Selalu.
Melakukan pejalanan sembrono sepuluh jam menentang angin berkecepatan 160km/jam.