Bianka menunggu matahari di tepi jendela, dia terjaga lebih awal entah mengapa. Sudah beberapa hari berlalu, Bianka gadis kecil seperti merindukan mentari.
Saat langit menjulurkan awan-awan berwarna tujuh, Bianka tersenyum manis. Dari balik salju yang menggantung dia memandang matahari yang segan.
Mmm.. matahari segera datang! Lirihnya senang.
Waah.. dia seperti mata bumi! Lihat! Jerit perempuan belum genap lima itu.
Blink, si anjing kecilnya mengulet, terusik suara Bianka. Dia merem melek, bulu putihnya keperakan ditimpa mentari, mungkin si pemalas itu tidur terlalu dalam di malam salju.
Sedang Ink, si kucing lincah itu, teramat sibuk dengan gulungan kertas, bulu lembut kuningnya seperti spot tinta merah terliput sinar pagi yang beku.
Green, burung beo kecil yang sebentar-sebentar menguap, juga masih enggan mengangkat sayap hijaunya, tetapi matanya yang elips bergerak-gerak seperti menghitung jarum jam untuk bersiap mengucap selamat pagi.
Terakhir, seekor kadal yang penakut dan semua memanggilnya Sifon, dia lembek lagi pemalu, dia hanya bersembunyi di selimut kardusnya sepanjang musim dingin.
Hei! Lihat matahari! Teriak Bianka.
Anjing Blink dan Kucing Ink sergap melompat ke tepi jendela, sedang Green Beo terbang berputar di langit-langit kamar. Ketiga mereka pikuk menampilkan keberaniannya masing-masing.
Tapi Sifon kadal, menutup telinganya yang kecil, dia begitu kecut menyambut pagi, seakan dia menangisi malam yang hilang dari kotak kardus persembunyiannya. Kadal Sifon menangis, dia serasa lonlely.