Amanda mengunci katup O2, meja masih berantakan, ada percik merah di kain luar, sementara di titik surgery, darah masih berkilat.
Dua suster rekannya membersihkan spot operasi, satu di meja stainless dan satunya lagi menggulung sprei penuh bercak.
Tim dokter baru saja berlalu, dan jenasah baru saja bergulir ke brankar beroda.
Suster Amanda memperhatikan dua yuniornya, mereka begitu terampil merapikan perhelatan operasi menuju sterilisasi.
Operasi jantung usai sudah, mengundang duka sanak sodara, Amanda membuka topi nursesnya, rambut pirangnya bergerai panjang, namun matanya pedih.
Entah ini keberapa kali operasi kritis, pasien berpulang di meja surgery. Gadis itu merasakan duka yang semakin tebal di setiap pasien yang meninggal.
Amanda bergegas mengakhiri atmosfer ruang operasi. Berjingkat keluar dan dia memerlukan udara segar.
Di garden rumah sakit, perempuan berbaju putih itu menumpahkan air mata.
Dokter Lula melihatnya, lalu menghampiri perawat andalannya itu.
Kamu harus menghapus trauma itu Manda! Ujarnya halus.
Kepala Amanda tertunduk, tangisnya masih sesengguk.
Ga tau dok! Saya semakin heavy di setiap kehilangan! Katanya.
Dokter Lula menepuk pundak perawatnya.
Hei, segala manusia akan menjumpai mati, sayang! Ini yang sudah digariskan semesta.
Ya, tapi gak gitu juga dok! Gumam Amanda.
Okei! Jadi apa yang kamu rasakan saat ini!
Saya gak bisa melihat pasien mati lagi dok! Cukup. No more!