Hari memanjangkan lehernya melalui mentari, aku memakai kacamata kelam buat melindungi tatapan, begitu juga dia.
Kami berjalan di sisi dinding batu jalan Braga, dengan garis sinar yang menimpa langsung berselang bayang di shading kafe.
Jam menetapkan angka 12, tetapi atmosfir kota gunung ini masih terasa sejuk dan berbau daun.
Kau terlalu lama menyembunyikannya! Kata lelaki yang memegang tanganku.
Aku menggigit bibir mengiyakan bercampur sesal. Maaf! Jawabku.
Seingatku, kau kerap berdiri di titik sana! Katanya sembari mengangkat lengan.
Oke, kita bisa mencobanya! Sahut ku ragu.
Lalu kami menyeberang jalan batu yang berwarna abu dan meluruskan lagi langkah di seberangnya, hingga tiba dan menepi di spot yang dia maksud.
Disini? Katanya.
Aku memutar tubuhku untuk meyakinkan. Entahlah!
Dia memandang mata ku dan aku merasakan masjgul di garis parasnya. Maaf! Kataku sumir.
Raisa, please! Mengingatlah! Katanya memohon.
Aku menggeleng. Bukan di sini!
Kamu yakin?
Mmmm... Aku mengangguk.
Sudah lebih dari sepuluh kita berputar di tengah Braga! Bagaimana mungkin? Tanyanya lenyap harapan.
Aku diam saja dan masih berusaha megingat tempat yang dimaksud. Tidak ada lagi banyak tanda karena demikian silam. Aku hanya ingat ruang kecil yang terhimpit dinding Belanda selebihnya blank.
Banyak ruang sudut di antara dinding Braga! Katanya menggaruk kepala.
Maaf! Tapi kita akan menjumpainya! Jawabku meyakinkan diri.
Baiklah! Kita rehat dulu saja! Dia menawarkan, aku mengangguk setuju.
Kami pun masik salah satu kafe yang bermeja kayu mentah, ruangannya besar sehingga dingin, merebak pula aroma masakan yang membuat lambungku bersuara.
Aku pesan spageti dan soda! Kataku. Dia memanggil pramukafe dan memesan.
Spageti dan soda, dua! Pramukafe menulis dan berlalu.
Tak lama kami berdua sudah melumatkan pasta lezat dengan lahap. Enak! Katanya. Aku menatap dia mengunyah dan tertawa. Tak sampai dua menit kami rampung dengan santapan dan mulai menatap orang lalu-lalang di lintas Braga.