Rumah masih gelap dan aku masih berdiri di tempatnya. Aku cuma melihat pintunya, lainnya gelap. Semenjak aku tak berani pulang melihat parasnya, apakah masih seperti gambar di awan yang turun di garis-garis hujan, tempat setiap malam aku menggantung pigura di sepanjang jalan basah.
Aku tak mengingat jalan pulang yang sama namun hanya terasa begitu panjang yang tidak menyenangkan hingga sampai ke pintu rumahnya. Pintu tempat jantungku biasa berdetak begitu cepat menunggu tangannya.
Aku masih berdiri di depan pintu rumah yang belum genap matahari. Hari masih sangat pagi membuat rasa bersalah yang merayap turun seperti masalah matahari denganku.
Aku menunggu di pintu membiarkan gelap membuka bajunya perlahan lalu mengambil terang.
Pertama jendela yang terbuka membiarkan langit yang rendah mengendus dimana aku melihat lengannya yang berayun lamat.
Sampai tuas pintu berputar dan aku pun berada tepat di wajahnya. Dia menghapus sinar masuk di matanya.
Boleh aku masuk? Sapaku pertama. Dia mengangguk lalu aku melangkah masuk dan mendapati ruang silam yang sama.
Sudah lama sekali! Kataku
Ya, sangat lama! Jawabnya.
Maaf!
Aku buatkan teh! Katanya berjingkat ke ruang makan yang terpisah kayu teralis. Aku mengangguk.
Anak-anak? Tanyaku ketika dia meletakkan cangkir teh berasap.
Tidak lagi di sini. Mereka sudah berkeluarga! Terangnya.
Sekarang kamu di mana?
Kota kecil di timur!
Aku mengangkat gelas teh meraba hangat dan mereguknya. Ada rasa silam yang menyeruak ketika air itu melewati indera rasaku.
Ku dengar kau sakit? Tanyanya. Aku mengambil udara napas.
Ya, penyakit ini hampir selalu mengalahkanku!
Kau?
Aku? Aku sehat, hanya ketuaan saja yang kerap mengalahkanku juga! Jawabnya.
Apa yang kau kerjakan?
Aku?
Ya!
Membaca buku! jawabnya.
Kau?
Aku?
Ya!
Masih menulis puisi! Jawabku.
Lalu kami berdua terdiam, seperti kembali menaiki kereta silam, liburan, memasak, bercinta dan hal-hal yang menyenangkan hati.