Banyak yang ngarang harga perbandingan BBM lebih murah dibandingkan negara lain bahkan Arab Saudi, bahwa harga pertalite dengan RON 90 (89?) lebih murah. Di Malaysia dan Arab Saudi yang tidak mengenal RON 90, mematok harga BBM dengan standar RON 95 dengan harga yang lebih murah dari Garuda. Malaysia memasang RM2.05 (Rp 6642) perliter sedangkan Arab Saudi memasang SR 2.33 atau Rp 9000.
Memang banyak beterbangan misleading yang berasal baik dari pemerintah ataupun dari antah berantah menjelang depresi kenaikan harga BBM lokal akibat harga barel minyak mentah yang mulai melintas tenang, bertengger di angka 100 USD yang sekarang cenderung turun.
Bapak presiden berkata di H-3, bahwa kita masih menghitung dengan hati-hati berapa kenaikan harga BBM bersubsidi ini yang malah mencuatkan ketakutan yang lebih kuat daripada kata kata yang menenangkan. Pertanyaan spontan yang muncul adalah kemane aje selama bertahun-tahun ini itung-itungan yang dimaksud presiden tersebut?
Spekulasi naik atau tidak naik akhirnya sudah melewati titik jenuh karena bleeding subsidi sehingga muncul subsidi trio BBM, LPG dan Listrik akan tembus 502,4 triliun, yang paling serem adalah bengkak subsidi/kompensasi BBM dari 18,5 triliun menjadi 252,5 triliun.
Siapa yang enggak lemes ujug-ujug BBM menyedot 1300 persen kenaikan subsidinya. Lalu apa yang mesti dikalkulasi dengan hati-hati lagi terhadap suatu angka yang sudah sedemikian superbesar untuk menetapkan keluaran harga BBM baru?
Misleading presiden dan tim juga mengangkat, tentang 70% penikmat BBM bersubsidi dari kalangan mampu menjadi suatu yang absurd. Pastilah 30% kalangan kurang mampu atau sebagian sahabat missqueen itu tidak tertarik dengan jargon itu.
Bodo amat, mau 70, 80 atau bahkan 90% penikmat BBM itu sultan, itu bukan urusan gue. Itu urusan pemerintahlah yang mesti membuat regulasi pengaturan BBM bersubsidi sehingga tidak terjadi apa yang diklaim dirinya sendiri bahwa 70% penikmatnya orang kaya itu.
Ada lagi misleading yang lebih kocak, bahwa sekarang kita bukan lagi negara pengekspor minyak tetapi sudah sebagai pengimpor minyak. So what gituloh dengan kita mengimpor minyak? Apa salahnya dengan mengimpor minyak, Singapura juga pengimpor minyak?
Setiap menyongsong kenaikan BBM sudah bisa dipastikan muncul narasi-narasi yang 4L (lulagi lulagi), dari bantalan bansos, pertumbuhan ekonomi, showoff kunjungan yang masif dari petinggi negara, hingga kode-kode yang basi, seperti antrian BBM yang di klaim sebagai kepanikan masyarakat ketimbang kelangkaan suplai BBM.
Banyak antitesis yang semakin transparan bila dipikirkan lebih jauh dari suatu jalan tesis pencitraan? Ketika harga minyak mentah tinggi, kalau memang membebani batasan biaya subsidi, harusnya bbm sudah naik sehingga beban subsidi lebih terkendali lebih awal.