Sudah dua hari, kedua lalat itu berada di dalam kamarku. Berputar-putar di langit-langit sambil sesekali melayang di atas meja, masing-masing melayang bersilangan seperti pesawat terbang. Beberapa kali hinggap di meja kerjaku, mungkin mereka mengira ada serpihan penganan yang tertinggal di atasnya.
Namun tidak sekali-sekali, karena aku selalu mengusap sekecil kotoran di atas meja kerja ku. Jadilah keduanya lebih banyak menempel terbalik di plafon.
Aku sendiri tanpa hirau akan kehadiran kedua serangga ini, kecuali suaranya yang terdengar menjengkelkan. Suara getaran sayapnya yang pendek itu menggelitik di telinga yang dibumbui rasa jijik. Karena mereka terbang kemana saja terutama ke tumpukan sampah, begitu mindset yang tertanam dalam otak ku. Dan hari ini aku sedikit bernapas luang, ketika segala tulisan telah rampung sesuai tenggat. Membuatku sedikit santai untuk membaca koran kertas yang masih setia ku baca.
Membuat kopi pahit yang hitam dan hangat akan menambah gairah sel-sel tubuhku yang selama ini kaku terpenjara dengan tulisan. Menyeruputnya nikmat sembari duduk membaca headline sambil menikmati ruang pagi yang tertera dari kaca jendela pagi.
Nguiiing.. tiba-tiba suara yang ku kenal dua hari lalu itu berkelebat menguasai sebagian gendang telingaku. Dua lalat itu bersliweran rendah dekat dengan kulit wajahku.
Hei! Aku mengusiknya dengan kibasan lengan, tapi mereka seperti tak peduli.
Keduanya hanya hinggap di alas meja sembari menatap mataku. Ku perhatikan keduanya menampakkan wajah yang serius, belalai pendeknya bergerak-gerak dan matanya yang seperti koki berputar longgar. Dua lalat itu tampak berbeda, satunya terlalu besar sehingga lainnya menjadi tampak terlalu kecil.
Kembali aku mengusirnya karena aku merasakan geli-geli. Dan mereka serentak terbang tegak lurus hampir menumbuk jidatku. Aku bergerak refleks menamparnya namun hanya mengibas angin, hampir saja tanganku sendiri menggaplok kening ku. Mereka lebih gesit, meliuk seperti mengejek, ditambah mengeluarkan bunyi denging yang ku benci.
Sehabis beberapa putaran kedua lalat itu berhenti bersamaan di bibir cangkir kopi ku. Membuatku sedikit naik darah, bisa-bisanya mereka hinggap di alat yang penting ini. Perlahan ku dekati keduanya dengan maksud menjentikkan dengan jariku. Tapi sempat ku memandang muka mereka yang tampak marah, membuatku membatalkan jentikkan jari.
Aku memandangi keduanya, sementara mereka juga menantang tatapanku. Hei! Mengapa lalat ini? Mengapa mereka begitu marah? Mereka semakin membesarkan tonjolan kedua matanya, mungkin berusaha membuatku jeri, tapi malah membuatku terkekeh.